NEW UPDATE

HUBUNGAN SEBAB AKIBAT (CAUSALITEIT, CAUSALITAT)


Kausalitas

Didalam delik-delik yang dirumuskan secara materiil (selanjutnya disebut delik materiil), terdapat unsur akibat sebagai suatu keadaan yang dilarang dan merupakan unsur yang menentukan (essentialia dari delik tersebut). Berbeda dengan dengan delik formil terjadinya akibat itu hanya merupakan accidentalia, bukan suatu essentialia, sebab jika disini tidak terjadi akibat yang dilarang dalam delik itu, maka delik (materiil) itu tidak ada, paling banyak ada percobaan.

Misalnya :
Pasal 338 KUHP : Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain dihukum karena pembunuhan.
Keadaan yang menentukan di sini adalah terampasnya nyawa seseorang. Contoh : matinya si A.

Oleh karenanya untuk dapat menuntut seseorang (misalnya X) yang dilakukan melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan matinya seseorang, maka harus dapat dibuktikan bahwa karena perbuatan X itu maka timbul akibat matinya A. “akibat” ini artinya “perubahan atas suatu keadaan” dimana dapat berupa suatu pembahayaan atau perkosaan terhadap kepentingan hukum.

Hubungan sebab akibat (causaliteitsvraagstuk) ini penting dalam delik materiil. Selain itu juga merupakan persoalan pada delik-delik yang dikualifikasi oleh akibatnya (door het gevolg gequafili ceerde delicten) misal pasal-pasal : 187, 188, 194 ayat 2, 195 ayat 2, pasal 333 ayat 2 dan 3, 334 ayat 2 dan 3, 351 ayat 2 dan 3, 355 ayat 2 dan 3 KUHP.

Persoalan kausalias ini terjadi karena kesulitan untuk menetapkan apa yang menjadi sebab dari suatu akibat. Perlu diketahui bahwa persoalan ini tidak hanya terdapat dalam lingkungan hukum pidana saja, akan tetapi juga dalam lapangan hukum lainnya. Misalnya hukum perdata dalam penentuan ganti rugi dan dalam hukum dagang misalnya dalam persoalan asuransi.

Persoalan ini pun terdapat dalam lapangan ilmu pengetahuan lainnya, misalnya dalam filsafat. Dalam menetapkan apakah yang dapat dianggap sebagai sebab dari suatu kejadian, maka terjadilah beberapa teori kausalita. Teori-teori hendak menetapkan hubungan obyektif antara perbuatan (manusia) dan akibat, yang tidak dikehendaki oleh undang-undang. Akibat kongkrit harus bisa ditelusuri sampai ke sebab.

Akan tetapi sebenarnya tidak boleh dipandang terlampau sederhana. Dalam filsafat terdapat “peringatan”, bahwa kejadian “B” yang terjadi sesudah kejadian “A”, belum tentu disebabkan karena kejadian “A” (post hoc non propter hoc).


Teori-teori Kausalitas (ajaran-ajaran kausalitas)

Teori Ekivalensi (aquivalenz-theorie)

Teori ini mengatakan : tiap syarat adalah sebab, dan semua syarat itu nilainya sama, sebab kalau satu syarat tidak ada maka akibatnya akan lain pula. Tiap syarat, baik positif maupun negatif untuk timbulnya suatu akibat itu adalah sebab, dan mempunyai nilai yang sama. Kalau satu syarat dihilangkan, maka tidak akan terjadi akibat kongkrit, seperti yang senyata-nyatanya, menurut waktu, tempat dan keadaannya. Tidak ada syarat yang dapat dihilangkan (lazim dirumuskan “nicht hiin weggedacht warden kann dan seterusnya) tanpa menyebabkan berubahnya akibat.

Contoh Kasus : 
 Jadi Misal : A dilukai ringan, kemudian dibawa ke dokter. Di tengah jalan ia kejatuhan genting, lalu mati. Penganiayaan ringan terhadap A itu juga merupakan sebab dari matinya A.
Teori ekivalensi ini memakai pengertian “sebab” sejalan dengan pengertian yang dipakai dalam logika. Dalam hubungan ini baik dikemukakan, bahwa terlepas satu sama lain, John Stuart Mill (di Inggris) dalam bukunya : Sistem of Logic berpendapat, “bahwa “sebab itu adalah “the whole of antecedents” (1843).

Van Hamel, seorang penganut teori ekivalensi berpendapat bahwa “untuk hukum pidana teori ini boleh digunakan, apabila diperbaiki dan diatur oleh teori kesalahan yang harus diterapkan dengan sebaik-baiknya”. Di sini dijelaskan, bahwa harus dibedakan antara hubungan kausal dan pertanggung jawaban pidana.
Kritik / keberatan terhadap teori ini : hubungan kausal membentang ke belakang tanpa akhir, sebab tiap-tiap “sebab” sebenarnya merupakan “akibat” dari “sebab” yang terjadi sebelumnya.

Contoh Kasus :
Jadi misal : B ditikam oleh A sampai mati. Yang merupakan sebab bukan hanya ditikam A, tetapi juga penjualan pisau itu kepada A dan penjualan pisau itu tidak ada, apabila tidak ada pembuatan pisau.
Jadi pembuatan pisau itu juga “sebab” dan begitu seterusnya. Berhubungan dengan keberatan itu, maka ada teori-teori lain yang hendak membatasi teori tersebut teori-teori yang akan disebutkan di bawah ini, mengambil dari sekian faktor yang menimbulkan akibat itu beberapa faktor yang kuat (dominant), sedang faktor-faktor lainnya dipisahkan sebagai faktor-faktor yang irrelevant (yang tidak perlu / penting).

Kebaikan teori ini : mudah diterapkan, sehingga tidak banyak menimbulkan persoalan, dan juga karena tori ini menarik secara luas sekali dalam membatasi lingkungan berlakunya pertanggungjawaban pidana. Teori ekivalensi ini dapat dipandang sebagai pangkal dari teori-teori lain.

Teori-teori Individualisasi
Teori-teori ini memilih secara post actum (inconcreto), artinya setelah peristiwa kongkrit terjadi, dari serentetan faktor yang aktif dan pasif dipilih sebab yang paling menentukan dari peristiwa tersebut; sedang faktor-faktor lainnya hanya merupakan syarat belaka. Penganut-penganutnya tidak banyak antara lain :
  • Birkmayer (1885) mengemukakan : sebab adalah syarat yang paling kuat (Ursache ist die wirksamste Bedingung)
  • Binding. Teorinya disebut “Ubergewichtstheorie)”
Dikatakan : sebab dari sesuatu perubahan adalah identik dengan perubahan dalam keseimbangan antara faktor yang menahan (negatif) dan faktor yang positif, dimana faktor yang positif itu lebih unggul. Yang disebut “sebab” adalah syarat-syarat positif dalam keunggulannya (in ihrem Ubergerwicht-bobot yang melebihi) terhadap syarat-syarat yang negatif. Satu-satunya sebab ialah faktor atau syarat terakhir yang menghilangkan keseimbangan dan memenangkan faktor positif itu.

Teori-teori generalisasi

Teori-teori ini melihat secara ante factum (sebelum kejadian/in abstracto) apakah diantara serentetan syarat itu ada perbuatan manusia yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu, artinya menurut pengalaman hidup biasa, atau menurut perhitungan yang layak, mempunyai kadar (kans) untuk itu. Dalam teori ini dicari sebab yang adequate untuk timbulnya akibat yang bersangkutan (ad-aequare artinya dibuat sama). Oleh karena itu teori ini disebut teori adequat (teori adequate, Ada-quanzttheorie). Contoh-contoh tentang ada atau tidaknya hubungan sebab akibat yang adequat :
  • Suatu jotosan ang mengenai hidung, biasanya dapat mengakibatkan hidung keluar darah. Akan tetapi apabila orang yang pukul itu menjadi buta itu bukan akibat yang adequate. Ini suatu akibat yang abnormal, yang tidak biasa.
  • Seorang yang menyetir mobil terpaksa mengerem sekonyong-konyong, oleh karena ada pengendara sepeda hendak menyebrang jalan yang membelok, sedang ini tidak disangka-sangka oleh pengendara mobil. Pengendara mobil ini mendapat penyakit trauma karena menekan urat. Dianipun dapat dikatakan bahwa perbuatan pengendara sepeda itu tidak merupakan penyebab yang adequate untuk timbulnya penyakit trauma tersebut.
  • Seorang petani membakar tumpukan rumput kering (hooi), dimana secara kebetulan bersembunyi / tidur seorang penjahat hingga ikut mati terbakar. Adakah pen-sebab-an yang adequate ? Jawabannya tergantung dari keadaan. Jika biasanya menurut pengalaman sehari-hari, tidak timbul akibat semacam itu maka perbuatan petani itu bukanlah sebab. Akan tetapi apabila di daerah itu merupakan kebiasaan orang untuk bersembunyi atau menginap dalam tumpukan rumput, maka perbuatan petani itu benar-benar mempunyai kadar untuk matinya seseorang.

    Back To Top