Humanisme adalah karakteristika Konfusianisme. Ini adalah perhatian dan penghormatan kepada laki-laki dan perempuan lain sebagai pribadi. Secara tradisional, model klasiknya dikenal dengan “filial piety” (hsiao)—kesetiaan seorang anak laki-laki kepada ayah atau orang tuanya. Humanisme mengacu pada ide manusia secara spesifik. Humanisme menolak baik antroposentrisme dan naturalisme karena keduanya berat sebelah dan tidak bijaksana dalam mengenali eksentrisitas manusia: antroposentrisme terlalu menghargainya, sementara naturalisme terlalu merendahkannya.
Konfusianisme seringkali dikarakteristikan sebagai “humanisme praktis” karena kepeduluannya dengan seni praktis tentang kehidupan manusia dengan sesama dalam kehidupan dunia sehari-hari. Sebagai humanisme praktis, Konfusianisme memfokuskan perhatiannya pada manusia dan apa yang dilakukannya. Premis ini radikal bahwa akar dari manusia adalah dirinya sendiri. Konfusianisme mulai dan berakhir pada manusia: bagi Konfusius, tidak ada yang “di seberang humanisme”. Humanitas bertumpu pada manusia –humanitas dalam dua-serangkai arti manusia sebagai kolektivitas, dan kausalitas asli manusia –jen adalah pilar humanisme praktis Konfusius. Tanpa jen, tanpa mempraktikkannya, manusia tidak akan menjadi manusia seutuhnya. Menjadi seorang manusia (jen) adalah menjadi insani (jen): sesungguhnya, jen adalah jen. menurut Analect of Confusius Konfusius, jen adalah mencintai semua manusia dan chih (pengetahuan) adalah mengenal semua manusia.
Konfusianisme, bagaimana pun peduli terutama pada homopietas tetapi tidak secara eksklusif. Dalam Li Chi (Kitab Upacara), Konfusius berkata tanpa pandangan hidup yang sama: “Menebang sebuah pohon, membunuh seekor binatang yang belum kawin, tidak pada musim yang tepat, adalah bertentangan dengan filial fiety.” (Li Chi, 1967: 228). Menurut cara tersebut, tujuan moral dari bakti kepada orangtua tidak dibatasi pada dampak dari apa yang dilakukan manusia pada orang lain tetapi diperluas pada dampak perilaku seseorang bagi makhlun non-human dan benda-benda. Demikian Creel menuliskan bahwa dalam Sinisme “manusia menghuni sebuah tempat yang menarik di alam semesta”.
Langit ada di atas dan bumi di bawah, dan di antara keduanya tersebar semua jenis kehidupan dengan perbedaan (sifat dasar dan kualitasnya); --berkenaan dengan proses pembentukan perayaan. (Pengaruh) langit dan bumi mengalir maju dan tak pernah berhenti, dan dengan kesatuan tindakannya (fenomena) produksi dan perubahan terjadi: --berkenaan dengan itu musik mengalun. Proses pertumbuhan di musim semi, dan dewasa di musim panas (menyarankan ide tentang) kebajikan; mereka berkumpul di musim gugur dan ... di musim salju, menyarankan kebenaran. Kebajikan serupa dengan musik, dan kebenaran serupa dengan perayaan.
Melalui jalan Sinitic tentang ecopiety humanisme diseimbangkan kembali dan dilengkapi dengan environmentalisme. Ketika environmentalisme berubah menjadi tabir penutup ecopiety, antroposentrisme rusak dan salah arah karena tidak ada daya pembesar manusia dalam tatanan benda-benda di alam semesta. Apakah “dominasi” dan “kegunaan” merupakan antroposentrisme, sementara “harmoni” dan “penghormatan” merupakan etika ecopiety.
.
.
