NEW UPDATE

KONFLIK HAM DAN EKONOMI

Konflik HAM dan Ekonomi

Ratifikasi kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ekosob) oleh pemerintah pada tahun 2005, telah menandai babak baru wacana Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Meski boleh dibilang terlambat, namun ini merupakan suatu kemajuan yang patut untuk di apresiasi. Dengan diratifikasinya kovenan tersebut, negara ini memiliki kewajiban untuk menegakan hak-hak ekosob dalam kehidupan warganya.

Perlindungan dan penegakan hak-hak dibidang ekonomi, sosial dan budaya merupakan pencapaian peradaban manusia yang luar biasa disamping hak-hak sipil dan politik. Hal ini dikarenakan, perlindungan hak-hak asasi manusia meniscayakan seseorang untuk hidup sesuai dengan martabat kemanusiaannya; yang dicirikan oleh kehidupan yang terhormat, bebas dan tidak diliputi oleh ketakutan. Perlindungan HAM merupakan “barang” baru (penemuan manusia modern) yang belum pernah terpikirkan oleh generasi manusia sebelumnya. 

Ditengah gejolak kehidupan global yang tidak menentu seperti sekarang, penegakan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya memang bukan perkara mudah. Ada berbagai tekanan kepentingan serta banyak rintangan yang harus dihadapi. Tidak menutup kemungkinan hal tersebut menjadi penyebab utama terabaikannya perlindungan dan penegakan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Bagi Indonesia sendiri, masalah ekonomi adalah rintangan yang cukup berat dalam menjalankan perlindungan terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. 

Pasca krisis moneter yang menimpa bangsa ini sepuluh tahun yang lalu, perekonomian Indonesia tidak menunjukan perbaikan yang signifikan. Ini berbeda dengan beberapa negara tetangga yang cepat pulih dari krisis yang mereka alami. Pulihnya perekonomian di negara ini berjalan sangat lambat dan terkadang diliputi oleh kekisruhan politik yang meresahkan warga masyarakat.

Berangkat dari fakta diatas, kita bisa mengetahui kemana prioritas kerja pemerintah di arahkan? Pemerintah dalam hal ini, lebih terfokus pada: bagaimana memperbaiki kehidupan ekonomi bangsa, mengurangi pengangguran, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat yang semuanya itu “ditafsirkan” dengan mengejar pertumbuhan ekonomi . 

Disini, kata pertumbuhan ekonomi seolah menjadi kata yang “sakral”. Memang tidak ada yang salah dengan teori mengejar pertumbuhan ekonomi ini. Karena secara teoritis, negara yang ekonominya tumbuh, menandakan bahwa negara tersebut sehat. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi bukan jawaban segala-galanya. Kita patut melayangkan sejumlah kritikan atas kebijakan pemerintah yang terlalu “market oriented” ini.

Perbaikan ekonomi dengan mengejar pertumbuhan bisa ditelusuri asal-usulnya pada kebijakan ekonomi pasar yang sekarang begitu digandrungi dimana-mana; Indonesia dalam hal ini tidak ketinggalan. Banyak para ekonom yang menganjurkan resep ekonomi pasar pada pemerintah dan para pengambil kebijakan. Sistem ekonomi pasar di Indonesia mulai naik daun ketika IMF memaksakan sejumlah resepnya yang tertuang dalam Structure adjustment Programe (SAP) . Meski sekarang Indonesia telah lepas dari IMF, namun warisan resep yang ditawarkan IMF telah mengakar dengan diterbitkannya berbagai jenis peraturan yang mengikuti saran lembaga keuangan dunia tersebut.

Menurut Yanuar Nugroho, resep ekonomi pasar yang banyak ditawarkan asing tersebut telah mengeliminasi hak-hak warga masyarakat yang paling mendasar . Layanan dasar (essential services) seperti: pendidikan, kesehatan, pekerjaan dengan penghidupan yang layak yang semua itu memenuhi hak-hak dasar warga, kini tergerus oleh pasar demi kepentingan bisnis semata. 

Padahal, layanan dasar merupakan bagian dari hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang harus dilindungi. Layanan kesehatan dimana seharusnya negara mampu memberikan pelayan yang optimal, murah dan terjangkau kini telah banyak dikomersialisasi dengan banyaknya keterlibatan swasta dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Hal ini mengakibatkan layanan kesehatan susah diakses oleh publik secara luas . 

Aspek lain yang turut menjadi sasaran liberalisasi adalah bidang ketenagakerjaan. Penerapan praktek outsourcing yang dilakukan banyak perusahaan dinilai telah meminggirkan hak-hak pekerja yang paling esensial. Layanan kesehatan dan bidang ketenagakerjaan hanya dua contoh saja untuk menyebutkan bagaimana destruktifnya kebijakan liberalisasi pasar yang dijalankan oleh negara dalam melanggar hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.

Belakangan, debat diseputar dunia pedidikan terdengar cukup nyaring. Rancangan undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) banyak menuai protes. Kebijakan komersialisasi pendidikan ini tidak lepas kaitannya dengan liberalisasi dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang seharusnya dinikmati oleh setiap warga negara dengan murah kini tidak ada bedanya dengan komoditas dagangan yang bisa diperjual belikan.
    Back To Top