Akuntabilitas dan transparansi
sebagai modal untuk mengurangi patologi organisasi birokrasi
BAB I
PENDAHULUAN
.1.1 Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah negara hukum, hal ini dengan tegas dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rumusan tersebut memberikan arti bahwa kekuasaan tertinggi di Indonesia adalah hukum, dengan demikian hukum digunakan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah UUD 1945 telah memuat ataupun menggariskan tentang pembagian kekuasaan baik kekuasaan vertikal maupun secara horisontal. Pada pemisahan kekuasaan secara horizontal (ke samping) melahirkan lembaga – lembaga negara di tingkat pusat yang berkedudukan sejajar yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif yang diatur dengan mekanisme chek and balance. menunjuk pada pembagian fungsi – fungsi antara organ kenegaraan. Sedangkan pembagian kekuasaan secara vertikal lazim dikenal dengan pembagian kekuasaan secara teritoril, menunjuk pada pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan. Hal ini selanjutnya memunculkan konsep pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sejarah tata pemerintahan Indonesia senantiasa ditandai oleh usaha yang terus menerus untuk mencari titik keseimbangan yang tepat dalam memberi bobot otonomi atau bobot desentralisasi. Sejak kemerdekaan sampai saat ini, distribusi kekuasaan /kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah selalu bergerak pada titik keseimbangan yang berbeda.
Perbedaan ini menurut Johannes Kalloh dapat dijelaskan dengan menggunakan konsep bandul yang selalu bergerak secara simetris pada dua isi yaitu Pusat dan Daerah. Pada suatu waktu bobot kekuasaan terletak pada Pemerintah Pusat dan pada kesempatan lain bobot kekuasaan yang lebih berat ada pada Pemerintah Daerah. Sedangkan Sadu Wasisitiono mengambil perumpamaan seperti pendulum, bergerak dari kutub satu ke kutub lain, dari kutub sangat yang berkuasa ke kutub yang sangat lemah . Demikian pula perubahanya, bergerak sangat dinamis dari satu kutub yang bersifat sentralistik ke kutub lain yang bersifat desentralistik. Pilihan kebijakan yang diambil tergantung pada situasi dan kondisi politik pada zamanya masing – masing.Terhadap dilema yang demikian pemerintah memberi respon yuridis yang bervariasi dari waktu ke waktu tergantung tergantung dari konfigurasi konstitusional dan konfigurasi politik pada waktu tertentu. Sejalan dengan hal tersebut, ternyata bahwa asas – asas yang dipakai dalam otonomi daerah juga senantiasa bergeser mengikuti konfigurasi pergeseran konfigurasi politik, mulai dari asas otonomi formal, otonomi material, otonomi yang seluas – luasnya, otonomi yang nyata dan bertanggungjawab sampai ke otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggungjawab. Menurut Moeljatno Tjokrowinoto, perubahan perundangan tentang pemerintahan daerah sampai beberapa kali, pada hakikatnya juga mencerminkan pergeseran imbangan kekuatan di antara kekuatan – kekuatan sosial politik dalam saling berinteraksi. Pergeseran tersebut melahirkan berbagai bentuk perundang - undangan yang mengatur hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah .Arus reformasi yang terjadi di Indonesia telah membawa cakrawala baru dalam sistem politik dan pemerintahan yang selama 32 tahun tidak berubah dan cenderung stagnan. Karena itu perubahan yang terjadi dipandang sebagai suatu langkah baru bagi terciptanya Indonesia di masa depan dengan dasar – dasar demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah .
Pilihan demokratisasi menjadi pilihan wajib bagi kegiatan bernegara berdasarkan bahwa hanya pemerintahan yang demokratislah yang dapat menempatkan manusia pada jati dirinya. Proses demokratisasi itu sendiri akhirnya berlangsung di Indonesia dengan telah dibukanya saluran –salauran demokrasi yang yang dulunya menghambat.Salah satu aspek reformasi yang mendapat perhatian hingga kini adalah persoalan kebijakan otonomi daerah. Pemerintah mulai mengeluarkan kebijakan desentralisasi (politik dan fiskal) dengan mengunakan kerangka hukum Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang - Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian direvisi dengan Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang - Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan landasan tersebut membawa perubahan yang cukup berarti terhadap hubungan pusat dan daerah. Perubahan perundang – undangan pemerintahan daerah di Indonesia dengan mengakibatkan sistem pemerintahan bergerak dari sistem pemerintahan yang sebagian besar tersentralisasi ke sistem yang sebagian besar terdesentralisasi. Diharapkan melalui kebijakan tersebut dapat menyuburkan reformasi pada tingkat lokal dan memberi ruang gerak pada bidang politik, pengelolaan keuangan daerah dan pemanfaatan sumber – sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat lokal. Sehingga tercipta corak pembangunan baru di daerah.
Isu desentralisasi selalu dikaitkan dengan efisiensi dan inovasi, karena melalui desentralisasi akan dapat memotong beberapa tahap birokrasi. Inovasi terbuka, karena adanya kekuasaan untuk dapat melakukan keputusan yang paling rendah. Di mana ada desentralisasi/keleluasaan untuk mengambil keputusan , maka di situ ada peluang untuk mengembangkan inovasi. Secara lebih rinci, Sarundajang mengemukakan beberapa keuntungan penerapan sistem desentralsiasi antara lain, mengurangi bertumpuknya pekerjaan pusat di daerah, tidak perlu menunggu instruksi dari pusat untuk pekerjaan yang segera diselesaikan, mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk, mengurangi kesewanang – wenangan dari pemerintah pusat dan akan memperbaiki kualitas pelayanan.
Suatu perubahan selalu ada sisi positif dan negatifnya, demikian juga dengan desentralisasi. Selain keuntungan sebagaimana tersebut di atas desentralisasi juga mempunyai kecenderungan atau efek kurang baik.. Sadu Wasistiono mencatat paling sedikit ada lima gejala umum dampak negatif dari desentralisasi yang nampak yaitu pertama menguatnya rasa kedaerahan yang sempit dalam pemanfaatan sumber daya alam, penyusunan rencana pembangunan, pemberian layanan umum kepada masyarakat maupun dalam pengisian jabatan birokrasi daerah. Kedua munculnya gejala ekonomi biaya tinggi sebagai akibat daerah hanya mengejar kepentingan jangka pendek untuk meningkatkan APBD, Ketiga Otonomi daerah masih dipahami secaras sempit sehingga hanya pemerintah daerah yang aktif, sedangkan peran serta masyarakat luas belum nampak. Keempat adanya gejala ketidakpatuhan daerah dan atau penafsiran secara sepihak terhadap berbagai perundang - undangan yang dikeluarkan pemerintah pusat , padahal demokrasi memerlukan ketaatan hukum yang tinggi. Kelima Dengan diberlakukanya Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 ada kecenderungan pergeseran titik pusat kekuasaan di daerah daerah dari eksekutif (executive heavy) ke tangan legislatif (legislative heavy) yang diikuti dengan pergesaeran pusat – pusat korupsinya.
Perubahan paradigma hubungan pemerintah pusat dan daerah pasca reformasi yang dimulai dari dikeluarkanya Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah merupakan upaya melakukan reformasi total penyelenggaraan negara di daerah. Dampak dari reformasi total ini ditinjau dari segi politik kenegaraan menurut Saldi Isra membuktikan telah terjadi pergeseran paradigma dari pemerintahan yang bercorak high centralized menjadi pola yang lebih terdesentralisasi dengan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mewujudkan otonomi daerah secara lebih luas sesuai dengan karakter khas yang dimiliki daerah. Hal ini dilakukan untuk megatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat sesuai dengan potensi wilayahnya. Perubahan yang dilakukan ini menurut Koeswara sebagaimana dikutip oleh Saldi Isra adalah untuk mewujudkan masyarakat madani dalam kehidupan berpemerintahan, bermasyarakat dan bernegara yang memiliki nilai – nilai good governance atau behoorlijk bestuur. Hal ini sangat diperlukan karena berkurangnya secara signifikan peranan pusat di daerah terutama dalam melakukan pengawasan preventif. Oleh karena itu unsur – unsur pelaksanaan pemerintahan yang baik dan benar dapat memainkan peranan penting di daerah.
Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat utama mewujudkan aspirasi masyarakat mencapai tujuan dan cita – cita bangsa dan negara. Dalam rangka hal tersebut, diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggungajwaban pemerintah yang tepat, jelas dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berdaya guna, berhasil guna dan bertanggungjawab serta bebas KKN. Menurut Sedarmayanti, perlu diperhatikan pula adanya mekanisme untuk meregulasi akuntabilitas pada setiap instansi pemerintah dan memperkuat peran dan kapasitas parlemen serta tersedianya akses yang sama pada informasi masyarakat luas.Pada dasarnya pemerintah mulai level pusat sampai daerah sebagai agen pelaksanaan penyelenggaraan pemerintah diserahi “kekuasaan” oleh rakyat untuk melaksanakan pemerintahan demi mewujudkan peranya sebagai pelaksana pembangunan, pembuat regulasi, pemberi layanan kepada masyarakat dan pemberdaya masyarakat. Oleh karena itu pemerintah sebagai pihak yang diberi kekuasaan hendaknya memiliki kewajiban untuk membertanggungjawabkan kekuasaan yang diberikan rakyat kepada mereka. Jika tidak demikian maka pemerintahanya akan menjadi taruhanya.
Dentralisasi menyebabkan akuntabilitas diperbaiki dengan dibawanya pemerintah lebih dekat kepada warganya yang dimungkinkan warga untuk memantau lebih baik akan penyajian layanan dan diizinkanya pemerintah pusat, sebagai para warga untuk memantau pemerintah – pemerintah daerah. Seiring dengan pergeseran kekuasaan yang terjadi dengan adanya perubahan peraturan perundang - undangan pemerintah daerah, salah satu hal yang menarik untuk dikaji adalah terjadi juga perubahan substansi dan pola pertanggungjawaban pemerintah daerah. Perubahan sistem pertanggungjawaban pemerintah daerah ini dapat dilihat dalam perubahan peraturan perundang - undangan pemerintah daerah adalah sebagai berikut sebagai berikut ;
ü Pertama , dalam Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1945. Pada periode ini organ yang ada di daerah adalah Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD) sebagai DPRD serta Dewan Eksekutif dan Kepala Daerah sebagai Pemerintah daerah. Pelaksanaan fungsi dan kewenangan dimaksud tampak masih berat sebelah karena kewenangan Kepala Daerah sangat dominan, di samping sebagai BPRD dalam membaut peraturan daerah, juga sebagai pimpinan Badan Eksekutif yang menjalankan pemerintahan sehari – hari. Dalam penjelasan undang - undang ini hanya disinggung sedikit tentang pertanggungjawaban kepala daerah , yang intinya bahwa materi pertanggungjawaban kepala daerah adalah mengenai segala lapangan pekerjaan tentang selfgovernment. Sedangkan pertanggungjawabannya adalah vertical kepada pemerintah pusat.
ü Kedua , dalam Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1948. Berdasarkan undang - undang ini Pemerintah daerah terdiri ata dua institusi , yaitu DPRD dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) serta Kepala Daerah. Prinsip yang terkandung dalam undang - undang ini cenderung mengikuti format pertanggungjawaban yang dilakukan pemerintah pusat dengan sistem parlementer. Hal ini dapat dilihat bahwa DPD sebagai pelaksana pemerintahan sehari – hari bertanggungjawab kepada DPRD dan dapat pula diberhentikan DPRD. Format yang demikian menunjukan bahwa kedudukan DPRD lebih dominan (superior) daripada DPD. Sementara kepalad daerah hanya sebagai pengawas pemerintah pusat.
ü Ketiga , dalam Undang - Undang Nomor 6 Tahun 1959 dan Nomor 5 Tahun 1960. Sebagai instrumen yuridis dalam penataan pemerintah daerah di bawah keberlakuan UUD 1945 setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, undang - undang ini mengatur struktur pemerintah daerah yang terdiri dari kepala daerah dan DPRD. Kepala daerah berfungsi ganda, selain sebagai kepala daerah otonom juga wakil pemerintah pusat . Meskipun DPRD tidak dapat menjatuhkan Kepala daerah , Kepala daerah otonom bertanggungjawab kepada DPRD. Sebagai alat pemerintah pusat, Kepala daerah bertanggungjawab kepada Pemerintah pusat . Keempat, dalam Undang - Undang Nomor 18 Tahun 1968. Kepala daerah adalah pelaksana pemerintahan sehari – hari dan bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri . Namun karena adanya peristiwa G.30.S/PKI, undang - undang pemerintah daerah ini tidak pernah diberlakukan.
ü Kelima, dalam Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974. Kedudukan Kepala daerah sederajat dengan DPRD. Namun dalam prakteknya Kepala daerah sangat;ah kuat, terutama dalam kapasitasnya sebagai penguasa tunggal yang tidak dapat dijatuhkan oleh DPRD, apalagi sarana kontrol dari DPRD terhadap Kepala daerah hampir dapat dikatakan tidak ada. Oleh karena itu era ini dapat dikatakan sebagai executive heavy. Pada masa ini Kepala daerah memberikan pertanggungjawaban kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Sedangkan kepada DPRD Kepala daerah hanya berkewajiban memberikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban.
ü Keenam, dalam Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999. Undang - undang tersebut mengatur prinsip/asas – asas penyelenggaraan pemerintah daerah dengan paradigma baru yaitu demokratiasai dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Pimpinan badan eksekutif (Kepala daerah ) bertanggungjawab kepada DPRD (Badan Legislatif). Dalam undang - undang ini juga diatur bahwa DPRD dapat mengusulkan pemberhentian kepala daerah dengan syarat – syarat dan alasan tertentu. Ironisnya dengan menguatnya peran dan fungsi DPRD termasuk pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD membawa ketidakstabilan dalam kehidupan pemerintahan daerah . Yang terjadi adalah mekanisme pertanggungjawaban ini dijadikan DPRD sebagai ajang “pemerasan” terhadap eksekutif.
ü Ketujuh, dalam Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004. Lahirnya undang - undang ini merupakan revisi terhadap kelemahan - kelemahan dalam Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999. Termasuk yang mengalami perubahan adalah mekanisme pertanggungjawaban. Karena yang dimaksud dalam undang - undang ini adalah Kepala daerah dan DPRD maka pertanggungajwabannya juga tidak disebut sebagai pertanggungjawaban Kepala daerah tetapi disebut dengan pertanggungjawaban Pemerintah daerah. Pertanggungjawaban Pemerintah daerah diberikan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Sedangkan kepada DPRD hanya diberikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban. Dari sini terlihat kembali menguatnya kedudukan Kepala daerah.
Dari uraian di atas terlihat bahwa sejak awal kemerdekaan sampai sekarang masalah mekanisme pertanggungjawaban pemerintah daerah selalu mengalami perubahan seiring perubahan undang - undang tentang pemerintahan daerah. Permasalahan akuntabilitas dan transparansi merupakan salah satu persoalan dalam pelaksanaan pemerintah daerah yang hingga saat ini terus dikaji pelaksanaanya oleh pemerintah . Hal ini menurut Yusuf Ateh Kepala Bidang Akuntabilitas Kantor Menteri Negera Pendayagunaan Aparatur Negara, karena hingga saat ini Pemerintah Indonesia juga belum menunjukan kemampuan pertanggungjawabannya, padahal salah satu ciri pemerintahan yang akuntabel adalah memiliki pengukuran , tujuan dan sasaran program yang diusulkan. Oleh karena itu pula pemerintah akan lebih menekankan aspek akuntabilitas pemerintahan dalam reformasi birokrasi pemerintahan.
Untuk mewujudkan pertanggung jawaban pemerintah terhadap warganya salah satu cara dilakukan dengan menggunakan prinsip transparansi (keterbukaan). Melalui transparansi penyelenggaraan pemerintahan, masyarakat diberikan kesempatan untuk mengetahui kebijakan yang akan dan telah diambil oleh pemerintah. Juga melalui transparansi penyelenggaraan pemerintahan tersebut, masyarakat dapat memberikan feedback atau outcomes terhadap kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah.
Latarr Belakang Perkembangan Ilmu Administrasi Negara, yang dewasa ini mulai lazim disebut Administrasi Publik, sudah demikian pesatnya. Di samping konsep-konsepnya yang makin implementatif dan tidak lagi dikaburkan dengan konsep manajemen, sehingga diharapkan tercipta pelayanan publik yang sesuai dengan harapan masyarakat (pelayanan prima). Disebutkan makin implementatif karena mulai dimanfaatkannya secara sungguh-sungguh berbagai konsep manajemen modern, yang semula berhasil diterapkan dalam dunia swasta/bisnis,kemudian dimodifikasi untuk kepentingan administrasi publik Dalam mewujudkan kepentingan administrasipublik (pelayanan prima) sangat diperlukan birokrasi yang baik. Penyempurnaan birokrasi dalam pemerintahan memerlukan perubahan sikap mendasar dari birokrasi itu sendiri. Patologi birokrasi terutama menunjukan adanya kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri, mempertahankan status quo dan menghalangi adanya perubahan yang cenderung sentralistik. Namun transformasi birokrasi itu sendiri juga tidak mudah untuk dilaksanakan, pasalnya pendekatannya sering terlalu bersifat struktural, yaitu kepada penataan organisasi dan fungsi fungsi. Tetapi yang tidak kalah penting adalah pembaharuan pada sisi nilai nilai yang membentuk manusia birokrat. Perubahan lanskap makro yang interdependen baik ditingkat lokal, nasional, dan global saat ini, sangat mempengaruhi berbagai daerah di Indonesia. Ditingkat lokal, dengan dilaksanakannya otonomi daerah, menandai pergeseran pola manajemen pemerintah dari manajemen pemerintahan yang sentralistik-eksploitatif. Kemudian di tingkat nasional, adanya perubahan besar dibidang politik, ditandai dengan pergeseran system politik dari otoritarian-bebal ke demokratik-akomodatif. Perubahan yang terjadi di era globalisasi serta tuntutan masyarakat yang semakin kompleks dan selalu berkembang, mengharuskan adanya peningkatan kinerja birokrasi. Untuk itu diperlukan birokrat yang mempunyai pemikiran yang berwawasan global, dan mempunyai jiwa kewirausahaan. Pengertian Birokrasi Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa inggris bureau + cracy), diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer. Pada rantai komando ini setiap posisi serta tanggung jawab kerjanya dideskripsikan dengan jelas dalam organigram. Organisasi ini pun memiliki aturan dan prosedur ketat sehingga cenderung kurang fleksibel. Ciri lainnya adalah biasanya terdapat banyak formulir yang harus dilengkapi dan pendelegasian wewenang harus dilakukan sesuai dengan hirarki kekuasaan. Berbagai definisi birokrat Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai : Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya. Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya didefinisikan sebagai Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat, dan Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai. Berdasarkan definisi tersebut, pegawai atau karyawan dari birokrasi diperoleh dari penunjukan atau ditunjuk (appointed) dan bukan dipilih (elected). Patologi dan Birokrasi Patologi merupakan bahasa kedokteran yang secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang penyakit”. Sementara yang dimaksud dengan birokrasi adalah : "Bureaucracy is an organisation with a certain position and role in running the government administration of a contry" (Mustopadijaja AR., 1999). Dengan demikian dapat dilihat bahwa birokrasi merupakan suatu organisasi dengan peran dan posisi tertentu dalam menjalankan administrasi pemerintah suatu negera. Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA., (1988) mengatakan bahwa pentingnya patologi ialah agar diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh manusia. Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu birokrasi. Artinya agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul baik bersifat politik, ekonomi, sosio-kultural dan teknologikal. Risman K. Umar (2002) mendifinisikan bahwa patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi. Patologi Birokrasi juga diartikan dalam beberapa artian seperti sebagai berikut:
1. Birokrasi sebagai organisasi yang berpenyakit (patologis)
2. Organisasi dan perilaku birokrat yang inefektif dan inefisien
3. Struktur dan fungsi organisasi besar yang sering melakukan kesalahan dan tidak mampu berubah. Gejala Terjadinya Patologi (penyakit) Birokrasi
Berbagai keluhan dan kritikan mengenai kinerja birokrasi memang bukan hal baru lagi, karena sudah ada sejak zaman dulu. Birokrasi lebih menunjukkan kondisi empirik yang sangat buruk, negatif atau sebagai suatu penyakit (bureau patology), seperti Parkinsonian (big bureaucracy), Orwellian (peraturan yang menggurita sebagai perpanjangan tangan negara untuk mengontrol masyarakat) atau Jacksonian (bureaucratic polity), ketimbang citra yang baik atau rasional (bureau rationality), seperti yang dikandung misalnya, dalam birokrasi Hegelian dan Weberian. Citra buruk tersebut semakin diperparah dengan isu yang sering muncul ke permukaan, yang berhubungan dengan kedudukan dan kewenangan pejabat publik, yakni korupsi dengan beranekaragam bentuknya, serta lambatnya pelayanan, dan diikuti dengan prosedur yang berbelit-belit atau yang lebih dikenal dengan efek pita merah (red-tape). Keseluruhan kondisi empirik yang terjadi secara akumulatif telah meruntuhkan konsep birokrasi Hegelian dan Weberian yang memfungsikan birokasi untuk mengkoordinasikan unsur-unsur dalam proses pemerintahan. Birokrasi, dalam keadaan demikian, hanya berfungsi sebagai pengendali, penegak disiplin, dan penyelenggara pemerintahan dengan kekuasaan yang sangat besar, tetapi sangat mengabaikan fungsi pelayanan masyarakat. Buruk serta tidak transparannya kinerja birokrasi bisa mendorong masyarakat untuk mencari ”jalan pintas” dengan suap atau berkolusi dengan para pejabat dalam rekrutmen pegawai atau untuk memperoleh pelayanan yang cepat. Situasi seperti ini pada gilirannya seringkali mendorong para pejabat untuk mencari ”kesempatan” dalam ”kesempitan” agar mereka dapat menciptakan rente dari pelayanan berikutnya. Apabila ditelusuri lebih jauh, gejala patologi dalam birokrasi, menurut Sondang P. Siagian, bersumber pada lima masalah pokok.
1. Pertama, persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk patologi seperti: penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima sogok, dan nepotisme.
2. Kedua, rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional, mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan.
3. Ketiga, tindakan pejabat yang melanggar hukum, dengan ”penggemukan” pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya.
4. Keempat, manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif, seperti: sewenang-wenang, pura-pura sibuk, dan diskriminatif.
5. Kelima, akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi, seperti: imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja, dan sistem pilih kasih. Jenis Patologi Birokrasi Menurut Sondang P. Siagian (1988) ada beberapa patologi birokrasi yang dapat dijumpai, antara lain :
1) Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab
2) Pengaburan masalah
3) Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme
4) Indikasi mempertahankan status quo
5) Empire bulding (membina kerajaan)
6) Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko
7) Ketidakpedulian pada kritik dan saran
8) Takut mengambil keputusan
9) Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi
10) Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif,
11) Minimnya pengetahuan dan keterampilan, dll.
Jenis Patologi Sistem Organisasi Birokrasi “parkinsonian”, dimana terjadinya proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur dan kekuasaan. Birokrasi “orwellian” yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi. Promosi dan rotasi bukan atas dasar kompetensi dan kebutuhan organisasi tetapi kepentingan kekuasaan dan dilakukan
1. Ritualisme/simbolisme: berbagai kegiatan serimonial yang berlebihan
2. Kinerja yang rendah (tokenisme) atau paling tinggi mediocre : pemborosan, tidak efektif.
Ada beberapa hal lain yang termasuk kedalam patologi birokrasi Organisasi atau kelompok antara lain : Terlalu percaya pada preseden, padahal tuntutan telah berubah. Formalisme dan Kurang inisiatif (takut membuat kesalahan) Inertia (lamban dalam berbagai urusan/keputusan) Duplikasi kegiatan dan departementalisme Red tape (cara kerja yang berbelit-belit dan ditunda-tunda) Peraturan dijadikan tujuan dan menjadi senjata para birokrat untuk melindungi kepentingannya dan mempertahankan status quo. Budaya korupsi ( korupsi berjamaah) : discretionary corruption: diskriminasi, spoil system, kolusi illegal corruption: menyalahi aturan yang ada mercenary corruption: penggelapan uang, komisi, suap, kuitansi fiktif,mark up, ruislag, ideological corruption: Kebijakan yang memihak partai/ideologi Jenis Patologi Perilaku Birokrat
1. Penyalahgunaan wewenang dan jabatan (korupsi): menerima suap, markup, menetapkan imbalan, kontrak fiktif, penipuan.
2. Tindakan sewenang-wenang: ekstorsi (pemerasan secara kasar/halus). Misalnya: pemotongan insentif, rapel, gaji dsb
3. Empire Building dengan menciptakan para aktor dependent disekelilingnya: promosi (pangkat dan jabatan) , bonus dsb.
4. Nepotisme/primordialisme : perekrutan dan penempatan posisi atas dasar “pertalian darah” /kesukuan kedaerahan bukan kompetensi.
5. Sycophancy (kecenderungan ingin memuaskan atasan dengan cara yang counter productive)
6. Konsumerisme dan hedonisme
7. Takut mengambil keputusan/mengambil resiko (Decidiophiobia):
8. Mutu Pelayanan terhadap pelanggan rendah: acuh tak acuh , pura-pura sibuk, tidak sopan, diskriminasi.
9. Disiplin dan Semangat kerja umumnya rendah
10. Armandiloisme : mamalia penggangsir yang melindungi diri dengan memo, rapat dan perangkat peraturan
11. Hyperpolysyllabicomia: gemar memakai kata-kata jargon (samar) dan yang muluk untuk menutupi kelemahannya Penyelesaian Masalah Atau Solusi Patologi Birokrasi Ada penyakit ada pula obatnya.
Untuk mengatasi Patologi Birokrasi, sebaiknya seluruh lapisan masyarakat saling bahu-membahu bekerjasama untuk melaksanakan proses pemerintahan dengan sebaik-baiknya. Solusi dari Patologi Birokrasi tidak akan menjadi obat yang mujarab jika seluruh lapisan masyarakat tidak saling mendukung. Karena setiap element baik dari pemerintah, dunia bisnis, masyarakat kecil, dan pihak swasta memiliki keterkaitan yang sangat pokok dalam berjalannya pemerintahan. Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi Patologi Birokrasi yaitu: Yang pertama, perlu adanya reformasi administrasi yang global. Artinya reformasi administrasi bukan hanya sekedar mengganti personil saja, bukan hanya merubah nama intansi tertentu saja, atau bukan hanya mengurangi atau merampingkan birokrasi saja namun juga reformasi yang tidak kasat mata seperti upgrading kualitas birokrat, perbaikan moral, dan merubah cara pandang birokrat, bahwa birokrasi merupakan suatu alat pelayanan publik dan bukan untuk mencari keuntungan. Yang kedua pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas. Kekuatan hukum sangat berpengaruh pada kejahatan-kejahatan, termasuk kejahatan dan penyakait-penyakit yang ada di dalam birokrasi. Kita sering melihat bahwa para koruptor tidak pernah jera walaupun sering keluar masuk buih. Ini dikarenakan hukuman yang diterima tidak sebanding dengan apa yang diperbuat. Pembentukan supremasi hukum dapat dilakukan dengan cara:
1. Kepemimpinan yang adil dan kuat
2. Alat penegak hukum yang yang kuat dan bersih dari kepentingan politik
3. Adanya pengawasan tidak berpihak dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan dalam birokrasi.
Yang ketiga ialah dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi. Kurangnya demokrasi dan rasa ber-tanggung jawab yang ada dalam birokrasi membuat para birokrat semakin mudah untuk menyeleweng dari hal yang semstinya dilakukan. Pengawasan dari bawah dan dari atas merupakan alat dari penciptaan akuntabilitas dan transparansi ini. Pembentukan E-Government diharapkan mampu menambah transparansi sehingga mampu memperkuat akuntabilitas para birokrat. Merubah Patologi Birokrasi Melalui Prinsip Good Governance Mar'ie Muhammad (Media Transparansi 1998) menyatakan bahwa good governance itu ada jika pembagian kekuasaan ada. Jadi ada disperse of power, bukan concentrate of power. Good governance sama dengan disperse of power, pembagian kekuasaan di tambah akuntabilitas publik dan transparansi publik. Jadi kalau tidak ada prinsip ini, good governance perlu untuk menekan penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan yang biasanya itu menimbulkan korupsi. Dan corrupt itu selalu abuse of power. Semakin tinggi kualitas dari good governance, semakin rendah korupsi. Sebaliknya semakin rendah kualitas good governance, korupsinya semakin tinggi. Dari penyataan di atas tergambar dengan jelas betapa prinsip-prinsip good governance dapat mencegah patologi birokrasi terutama dalam hal korupsi, kolusi dan nepotisme. Untuk lebih detailnya prinsip-prinsip good governance dapat merubah patologi birokrasi, maka dapat diuaraikan sebagai berikut:
1. Participation. Melalui prinsip ini akan masyarakat terlibat dalam pembuatan keputusan yang bangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartsipasi secara konstruktif, sehingga dengan demikian maka pemerintahan tidak menjadi otoriter dalam mengambil keputusan. Keputusan yang dihasilakan merupakan representasi dari keinginan masyarakat dan tidak dapat diintervensi oleh pihak-pihak yang ingin memanfaatkan pemerintah.
2. Rule of law. Supremasi hukum merupakan langkah yang harus diambil untuk meminimalisir atau menghilangkan praktek-praktek patologi dalam birokrasi. Dengan penegakan hukum yang baik maka indikasi untuk melakukan kesalahan akan terhapus karena para birokrat akan merasa takut dengan ancaman hukum.
3. Transparansi :. Melalui prinsip transparansi maka segala hal yang dilakukan oleh pemerintah atau birokrat dapat di kontrol oleh masyarakat melalui informasi yang terbuka dan bebas diakses. Transparansi ini mendorong birokrasi untuk senantiasa menjalankan aturan sesuai ketentuan dan perundang-undangan, karena bila tidak sasuai masyarakat pasti mengetahui dan melakukan penututan.
4. Responsiveness. Pradigama baru birokrasi menekanakan bahwa pemerintah harus dapat melayani kebutuhan masyarakat umum dan memberi respon terhadap tuntutan pembangunan. Patologi yang selama ini terjadi dimana pemerintah dilayani oleh masyarakat, maka dengan prinsip responsiveness pemerintah harus sedapat mungkin memberikan pelayanan kepada stakeholders.
5. Effectiveness and efficiency. Pemborosan yang terjadi dalam praktek pengelolaan organisasi birokrasi dapat diminimalisir oleh prinsip ini. Terutama dalam pengelolaan anggaran pemerintah.
6. Accountability. Melalui pertanggungjawaban kepada publik maka birokrasi menjadi hati-hati dalam bertindak, dengan akuntabilitas publik pemerintah harus memberikan keterangan yang tepat dan jelas tentang kinerjanya secara keseluruhan.
7. Strategic vision. Melalui straegi visi maka akan tumbuh dalam setiap birokrat akan nilai-nilai idealisme dan harapan-harapan organisasi dan negara untuk masa yang akan datang. Nilai-nilai dan harapan-harapan ini akan memeberikan kesan praktek pelaksaan pekerjaan birokrasi. KESIMPULAN Kesimpulan Risman K. Umar (2002) mendifinisikan bahwa patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi. Menurut Sondang P. Siagian (1988) ada beberapa patologi birokrasi yang dapat dijumpai, antara lain :
v Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab
v Pengaburan masalah
v Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme
v Indikasi mempertahankan status quo
v Empire bulding (membina kerajaan)
v Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko
v Ketidakpedulian pada kritik dan saran
v Takut mengambil keputusan
v Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi
v Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif,
v Minimnya pengetahuan dan keterampilan, dll. Solusi untuk mengatasi Patologi Birokrasi yaitu:
ü Perlu adanya reformasi administrasi yang global.
ü Pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas
ü Dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Akuntabilitas Dan Transparansi
2.1.1 Konsep dan pengertian akuntabilitas
Menurut Taliziduhu Ndraha, konsep akuntabilitas berawal dari konsep pertanggungjawaban, konsep pertanggungjawaban sendiri dapat dijelasakan dari adanya wewenang. Wewenang di sini berarti kekuasaan yang sah. Menurut Weber ada tiga macam tipe ideal wewenang, pertama wewenang tradisional kedua wewenang karismatik dan ketiga wewenang legal rational. Yang ketigalah ini yang menjadi basis wewenang pemerintah. Dalam perkembanganya, muncul konsep baru tentang wewenang yang dikembangkan oleh Chester I. Barnard, yang bermuara pada prinsip bahwa penggunaan wewenang harus dapat dipertanggungjawabkan.Darwin sebagaimana dikutip Joko Widodo, membedakan konsep pertanggungjawaban menjadi tiga .
ü Pertama , akuntabilitas (accountability),
ü kedua, responsibilitas (responsibility) dan
ü ketiga responsivitas (responsiveness).
Sebelum menjelaskan tentang pertanggungajawaban sebagai akuntabilitas (accountability), di sini akan dijelaskan lebih dahulu pertanggungjawaban sebagai responsibilitas (responsibility) dan sebagai responsivitas (responsiveness).
Responsibilitas (responsibility) merupakan konsep yang berkenaan dengan standar profesional dan kompetensi teknis yang dimiliki administrator (birokrasi publik) dalam menjalankan tugasnya. Administrasi negara dinilai responsibel apabila pelakunya memiliki standard profesionalisme atau kompetensi teknis yang tinggi. Sedangkan konsep responsivitas (responsiveness) merupakan pertanggungjawaban dari sisi yang menerima pelayanan (masyarakat). Seberapa jauh mereka melihat administrasi negara (birokrasi publik) bersikap tanggap (responsive) yang lebih tinggi terhadap apa yang menjadi permasalahan, kebutuhan, keluhan dan aspirasi mereka.
Pertanggungjawaban sebagai akuntabilitas (accountability) merupakan suatu istilah yang pada awalnya diterapkan untuk mengukur apakah dana publik telah digunakan secara tepat untuk tujuan di mana dana publik tadi ditetapkan dan tidak digunakan secara ilegal. Dalam perkembanganya akuntabilitas digunakan juga bagi pemerintah untuk melihat akuntabilitas efisiensi ekonomi program. Usaha – usaha tadi berusaha untuk mencari dan menemukan apakah ada penyimpangan staf atau tidak, tidak efisien apa tidak prosedur yang tidak diperlukan. Akuntabilitas menunjuk pada pada institusi tentang “cheks and balance” dalam sistem administrasi. Mohamad Mahsun membedakan akuntabilitas dan responsibilitas, menururtnya keduanya merupakan hal yang saling berhubungan tetapi akuntabilitas lebih baik dan berbeda dengan akuntabilitas. Akuntabilitas didasarkan pada catatan/laporan tertulis sedangkan responsibilitas didasarkan atas kebijaksanaan. Akuntabilitas merupakan sifat umum dari hubungan otoritasi asimetrik misalnya yang diawasai dengan yang mengawasi, agen dengan prinsipal atau antara yang mewakil dengan yang diwakili. Dari segi fokus dan cakupanya, responsibility lebih bersifat internal sedangkan akuntabilitas lebih bersifat eksternal.
Mohamad Mahsun juga membedakan akuntabilitas dalam arti sempit dan arti luas, akuntabilitas dalam pengertian yang sempit dapat dipahami sebagai bentuk pertanggungjawban yang mengacu pada siapa organisasi (atau pekerja individu) bertangungjawab dan untuk apa organisasi bertanggngjawab. Sedang pengertian akuntabilitas dalam arti luas dapat dipahami sebagai kewajiban pihak pemegang amanah (agen) untuk meberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut.
Menurut The Oxford Advance Learner’s Dictionary sebagaimana dikutip oleh Lembaga Administrasi Negara, akuntabilitas diartikan sebagai “required or excpected to give an explanation for one’s action” Akuntabilitas diperlukan atau diharapkan untuk meberikan penjelasan atas apa yang telah dilakukan. Dengan demikian akuntabilitas merupakan kewajiban untuk memberikan pertanggungajwaban atau menjawab dan menerangkan kinerja atas tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.Miriam Budiarjo mendefinisikan akuntabilitas sebagai pertanggungjawaban pihak yang diberi kuasa mandat untuk memerintah kepada yang membeeri mereka mandat Akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi penumpukkan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi .Sedang Sedarmayanti mendefinsiskan sebagai sebagai suatu perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaba yang dilaksanakan secara periodik.Lembaga Administrasi Negara menyimpulkan akuntabilitas sebagai kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalaian sumberdaya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui pertanggungjawaban secara periodik.Akuntabilitas dibedakan dalam beberapa macam atau tipe, Jabra & Dwidevi sebagaiman dijelaskan oleh Sadu Wasistiono mengemukakan adanya lima perspektif akuntabilitas yaitu ;
v Akuntabilitas administ atif/organisasi adalah pertanggungajwaban antara pejabat yang berwenang dengan unit bawahanya dalam hubungan hierarki yang jelas.
v Akuntabilitas legal, akuntabilitas jenis ini merujuk pada domain publik dikaitkan dengan proses legislatif dan ydikatif. Bentuknya dapat berupa peninjauan kembali kebijakan yang telah diambil oleh pejabat publik maupun pembatalan suatu peraturan oleh institusi yudikatif. Ukuran akuntabilitas legal adalah peraturan perundang undangan yang berlaku
v Akuntabilitas politik, Dalam tipe ini terkait dengan adanya kewenangan pemegang kekuasaan politik untuk mengatur, menetapkan prioritas dan pendistribusian sumber – sumber dab menjamain adanya kepatuhan melaksanakan tanggungjawab administrasi dan legal . Akuntabilitas ini memusatkan pada tekanan demokratik yang dinyatakan oleh administrasi publik
v Akuntabilitas profesional hal ini berkaitan dengan pelaksnaan kinerja dan tindakan berdasarkan tolak ukur yang ditetapkan oleh orang profesi yang sejenis. Akuntabilitas ini lebih menekankan pada aspek kualitas kinerja dan tindakan.
v Akuntabilitas moral. Akunatabilitas ini berkaitan dengan tata nilai yang berlaku di kalagan masyarakat . Hal ini lebih banyak berbicara tentang baik atau buruknya suatu kinerja atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif berdasarkan ukuran tata nilai yang berlaku setempat.
2. Konsep dan pengertian Transparansi Menurut Mardiasmo, transparansi berarti keterbukaan (opennsess) pemerintah dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan seumberdaya publik kepada pihak – pihak yang membutuhkan informasi. Pemerintah berkewajiban memberikan informasi keuangan dan informasi lainya yang akan digunakan untuk pengambilan keputusan oleh pihak – pihak yang berkepentingan .
Transparansi pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakat sehingga tercipta pemerintahan daerah yang bersih, efektif, efisien ,akuntabel dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat. Transparansi adalah prinsip yang menjamain akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan , yakni informasi tentang kebijakan proses pembuatan dan pelaksanaanya serta hasil – hasil yang dicapai. Transparansi adalah adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan. Sedangkan yang dimaksud dengan infoermasi adalah informasi mengenai setiap aspek kebijakan pemerintah yang dapat dijangkau publik. Keterbukaan informasi diharapkan akan menghasilkan persaingan politik yang sehat, toleran, dan kebijakan dibuat beradsarkan preferensi publik.Makna dari transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dilihat dalam dua hal yaitu
1. salah satu wujud pertanggung jawaban pemerintah kepada rakyat, dan
2. upaya peningkatan manajemen pengelolaan dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan mengurangi kesempatan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
Sedangkan transparansi penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam hubungannya dengan pemerintah daerah perlu kiranya perhatian terhadap beberapa hal berikut ;
1. publikasi dan sosialisasi kebijakan-kebijakan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,
2. publikasi dan sosialisasi regulasi yang dikeluarkan pemerintah daerah tentang berbagai perizinan dan prosedurnya, (3) publikasi dan sosialisasi tentang prosedur dan tata kerja dari pemerintah daerah, (4) transparansi dalam penawaran dan penetapan tender atau kontrak proyek-proyek pemerintah daerah kepada pihak ketiga, dan
3. kesempatan masyarakat untuk mengakses informasi yang jujur, benar dan tidak diskriminatif dari pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Selanjutnya dalam penyusunan peraturan daerah yang menyangkut hajat hidup orang banyak hendaknya masyarakat sebagai stakeholders dilibatkan secara proporsional. Hal ini disamping untuk mewujudkan transparansi juga akan sangat membantu pemerintah daerah dan DPRD dalam melahirkan Peraturan Daerah yang accountable dan dapat menampung aspirasi masyarakat. Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi terkait --seperti berbagai peraturan dan perundang-undangan, serta kebijakan pemerintah– dengan biaya yang minimal. Informasi sosial, ekonomi, dan politik yang andal (reliable) dan berkala haruslah tersedia dan dapat diakses oleh publik (biasanya melalui filter media massa yang bertanggung jawab). Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan (untuk kemudian) dapat dipantau. Transparansi jelas mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan publik. Sebab, penyebarluasan berbagai informasi yang selama ini aksesnya hanya dimiliki pemerintah dapat memberikan kesempatan kepada berbagai komponen masyarakat untuk turut mengambil keputusan. Oleh karenanya, perlu dicatat bahwa informasi ini bukan sekedar tersedia, tapi juga relevan dan bisa dipahami publik. Selain itu, transparansi ini dapat membantu untuk mempersempit peluang korupsi di kalangan para pejabat publik dengan “terlihatnya” segala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas.
Dalam impelmentasi di pemerintah daerah Seringkali kita terjebak dalam “paradigma produksi” dalam hal penyebarluasan informasi ini; seakan-akan transparansi sudah dilaksanakan dengan mencetak leaflet suatu program dan menyebarluaskannya ke setiap kantor kepala desa, atau memasang iklan di surat kabar yang tidak dibaca oleh sebagian besar komponen masyarakat. Pola pikir ini perlu berubah menjadi“paradigma pemasaran”, yaitu bagaimanamasyarakat menerima informasi dan memahaminya.
Untuk mewujudkannya dalam pelaksanaan administrasi publik sehari-hari, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan di sini. Pertama, kondisi masyarakat yang apatis terhadap program-program pembangunan selama ini membutuhkan adanya upaya - upaya khusus untuk mendorong keingintahuan mereka terhadap data/informasi ini. Untuk itu, dibutuhkan adanya penyebarluasan (diseminasi) informasi secara aktif kepada seluruh komponen masyarakat, tidak bisa hanya dengan membuka akses masyarakat terhadap informasi belaka. Kedua, pemilihan media yang digunakan untuk menyebarluaskan informasi dan substansi/materi informasi yang disebarluaskan sangat bergantung pada segmen sasaran yang dituju. Informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat awam sangat berbeda dengan yang dibutuhkan oleh organisasi nonpemerintah, akademisi, dan anggota DPRD, misalnya. Selain itu, seringkali cara-cara dan media yang sesuai dengan budaya lokal jauh lebih efektif dalam mencapai sasaran daripada “media modern” seperti televisi dan surat kabar. Ketiga,seringkali berbagai unsur nonpemerintah –misalnya pers, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat (LSM)– lebih efektif untuk menyebarluaskan informasi daripada dilakukan pemerintah sendiri. Untuk itu, penginformasian kepada berbagai komponen strategis ini menjadi sangat penting.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Akuntabilitas dan Transparansi Dalam Pelayanan Publik
3.1.1 Prolog
Sejak awal 1990-an, Good Governance telah menjadi kredo baru dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kendati demikian, masih terdapat beberapa perbedaan penekanan, walaupun terdapat persamaan fokus dan ide utamanya. UNDP, misalnya, memberikan penekanan khusus pada pembangunan manusia yang berkelanjutan, pengentasan kemiskinan, dan transformasi administrasi publik (UN Report, 1998). Sementara itu, Bank Dunia lebih memberikan perhatian pada pendayagunaan sumber daya sosial dan ekonomi bagi pembangunan. Sedangkan Organisation for Economic Cooperation dan Development(OECD) menekankan pada penghargaan hak-hak asasi manusia, demokrasi dan legitimasi pemerintah.
Secara konseptual, Good Governance oleh UNDP dipahami sebagai implementasi otoritas politik, ekonomi, dan administratif dalam proses manajemen berbagai urusan publik pada berbagai level dalam suatu negara. Merujuk pada konsepsi tersebut, Good Governance memiliki beberapa atribut kunci seperti efektif, partisipatif, transparan, akuntabel, produktif, dan sejajar serta mampu mempromosikan penegakan hukum. Di atas semua itu, atribut utama Good Governance adalah bagaimana penggunaan kekuasaan dan otoritas dalam penyelesaian berbagai persoalan publik. Dalam konteks itu, mekanisme kontrol (check and balance) perlu ditegakkan sehingga tidak ada satu komponen pun yang memegang kekuasaan absolut. Salah satu mekanisme yang digunakan adalah dengan menegakkan akuntabilitas sistem, struktur, organisasi dan staf atas apa yang menjadi tanggung jawab, fungsi, tugasnya yang antara lain terlihat dari perilaku atau budaya kerjanya.
Di kebanyakan negara berkembang, perhatian utama terhadap Good Governance dalam kaitan dengan penggunaan otoritas dan manajemen sektor publik, adalah pervasifnya korupsi yang cenderung menjadi karakter tipikal yang melekat. Bahkan di beberapa negara terbukti bahwa budaya korupsi telah begitu melekat di dalam birokrasi pemerintah yang justru ditandai oleh kelangkaan sumber daya. Dalam konteks itu, absennya akuntabilitas sangat menonjol dan menjadi satu karakter dominan budaya administrasi selama periode tertentu.
3.1.2 Tiga Dimensi Akuntabilitas
Akuntabilitas Politik, biasanya dihubungkan dengan proses dan mandat pemilu, yaitu mandat yang diberikan masyarakat kepada para politisi yang menduduki posisi legislatif dan eksekutif dalam suatu pemerintahan. Masa jabatan kedua kekuasaan tersebut bersifat temporer karena mandat pemilut sangat tergantung pada hasil pemilu yang dilakukan pada interval waktu tertentu. Untuk negara-negara di mana mandat pemilu mendapat legitimasi penuh (pemilu bersifat bebas dan hasilnya diterima oleh semua pihak), masyarakat menggunakan hak suaranya untuk mempertahankan para politisi yang mampu menunjukkan kinerja yang baik serta menjatuhkan pemerintahan yang berunjuk prestasi buruk. Mandat elektoral yang kuat memberikan legitimasi kepada pemerintah dan membantu menjamin kredibilitasnya, di samping stabilitas dan prediktibilitas kebijakan yang diformulasikannya.
Akuntabilitas Finansial, fokus utamanya adalah pelaporan yang akurat dan tepat waktu tentang penggunaan dana publik, yang biasanya dilakukan melalui laporan yang telah diaudit secara profesional. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa dana publik telah digunakan untuk tujuan-tujuan yang telah ditetapkan secara efisien dan efektif. Masalah pokoknya adalah ketepatan waktu dalam menyiapkan laporan, proses audit, serta kualitas audit. Perhatian khusus diberikan pada kinerja dan nilai uang serta penegakan sanksi untuk mengantisipasi dan mengatasi penyalahgunaan, mismanajemen, atau korupsi. Jika terdapat bantuan finansial eksternal, misalnya dari pinjaman lembaga keuangan multilateral atau melalui bantuan pembangunan oleh lembaga donor, maka standar akuntansi dan audit dari berbagai lembaga yang berwenang harus diperhatikan. Hal inilah yang kiranya dapat menjelaskan besarnya perhatian pada standar akuntansi dan audit internasional dalam menegakkan akuntabilitas finansial. Hasil dari akuntabilitas finansial yang baik akan digunakan untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan mobilisasi dan alokasi sumber daya serta mengevaluasi tingkat efisiensi penggunan dana. Hasil tersebut juga dapat digunakan oleh masyarakat umum dan stakeholders (seperti donor) untuk menilai kinerja pemerintah berdasarkan sasaran tertentu yang telah disepakati sebelumnya.
Akuntabilitas administratif, merujuk pada kewajiban untuk menjalankan tugas yang telah diberikan dan diterima dalam kerangka kerja otoritas dan sumber daya yang tersedia. Dalam konsepsi yang demikian, akuntabilitas administratif umumnya berkaitan dengan pelayan publik, khususnya para direktur, kepala departemen, dinas, atau instansi, serta para manajer perusahaan milik negara. Mereka adalah pejabat publik yang tidak dipilih melalui pemilu tetapi ditunjuk berdasarkan kompetensi teknis. Kepada mereka dipercayakan sejumlah sumber daya yang diharapkan dapat digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa tertentu.
Secara umum, spektrum yang begitu luas telah menyebabkan digunakannya konsep akuntabilitas secara fleksibel. Yang paling mudah adalah mengidentikkan akuntabilitas pelayan publik dengan bentuk pertanggung jawaban mereka kepada atasannya, baik secara politik maupun administratif.
Di tempat lain, Polidano (1998) menawarkan kategorisasi baru yang disebutnya sebagai akuntabilitas langsung dan akuntabilitas tidak langsung. Akuntabilitas tidak langsung merujuk pada pertanggung jawaban kepada pihak eksternal seperti masyarakat, konsumen, atau kelompok klien tertentu, sedangkan akuntabilitas langsung berkaitan dengan pertanggung jawaban vertikal melalui rantai komando tertentu.
Polidano lebih lanjut mengidentifikasi 3 elemen utama akuntabilitas, yaitu:
q Adanya kekuasaan untuk mendapatkan persetujuan awal sebelum sebuah keputusan dibuat. Hal ini berkaitan dengan otoritas untuk mengatur perilaku para birokrat dengan menundukkan mereka di bawah persyaratan prosedural tertentu serta mengharuskan adanya otorisasi sebelum langkah tertentu diambil. Tipikal akuntabilitas seperti ini secara tradisional dihubungkan dengan badan/lembaga pemerintah pusat (walaupun setiap departemen/lembaga dapat saja menyusun aturan atau standarnya masing-masing).
q Akuntabilitas peran, yang merujuk pada kemampuan seorang pejabat untuk menjalankan peran kuncinya, yaitu berbagai tugas yang harus dijalankan sebagai kewajiban utama. Ini merupakan tipe akuntabilitas yang langsung berkaitan dengan hasil sebagaimana diperjuangkan paradigma manajemen publik baru (new public management). Hal ini mungkin saja tergantung pada target kinerja formal yang berkaitan dengan gerakan manajemen publik baru.
q Peninjauan ulang secara retrospektif yang mengacu pada analisis operasi suatu departemen setelah berlangsungnya suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga eksternal seperti kantor audit, komite parlemen, ombudsmen, atau lembaga peradilan. Bisa juga termasuk badan-badan di luar negara seperti media massa dan kelompok penekan. Aspek subyektivitas dan ketidakterprediksikan dalam proses peninjauan ulang itu seringkali bervariasi, tergantung pada kondisi dan aktor yang menjalankannya.
3.1.3 Beberapa Metode Untuk Menegakkkan Akuntabilitas
Kontrol Legislatif: Di banyak negara, legislatif melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan melalui diskusi dan sejumlah komisi di dalamnya. Jika komisi-komisi legislatif dapat berfungsi secara efektif, maka mereka dapat meningkatkan kualitas pembuatan keputusan (meningkatkan responsivitasnya terhadap kebutuhan dan tuntutan masyarakat), mengawasi penyalahgunaan kekuasaan pemerintah melalui investigasi, dan menegakkan kinerja.
Akuntabilitas Legal: Ini merupakan karakter dominan dari suatu negara hukum. Pemerintah dituntut untuk menghormati aturan hukum, yang didasarkan pada badan peradilan yang independen. Aturan hukum yang dibuat berdasarkan landasan ini biasanya memiliki sistem peradilan, dan semua pejabat publik dapat dituntut pertanggung jawabannya di depan pengadilan atas semua tindakannya. Peran lembaga peradilan dalam menegakkan akuntabilitas berbeda secara signifikan antara negara, antara negara yang memiliki sistem peradilan administratif khusus seperti perancis, hingga negara yang yang memiliki tatanan hukum di mana semua persoalan hukum diselesaikan oleh badan peradilan yang sama, termasuk yang berkaitan dengan pernyataan tidak puas masyarakat terhadap pejabat publik. Dua faktor utama yang menyebabkan efektivitas akuntabilitas legal adalah kualitas institusi hukum dan tingkat akses masyarakat atas lembaga peradilan, khususnya yang berhubungan dengan biaya pengaduan. Institusi hukum yang lemah dan biaya yang mahal (tanpa suatu sistem pelayanan hukum yang gratis) akan menghambat efektivitas akuntabilitas legal.
Ombudsman: Dewan ombudsmen, baik yang dibentuk di dalam suatu konstitusi maupun legislasi, berfungsi sebagai pembela hak-hak masyarakat. Ombudsmen mengakomodasi keluhan masyarakat, melakukan investigasi, dan menyusun rekomendasi tentang bagaimana keluhan tersebut diatasi tanpa membebani masyarakat. Sejak diperkenalkan pertama kali di Swedia pada abad 19, Ombudsmen telah menyebar ke berbagai negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Secara umum, masyarakat dapat mengajukan keluhannya secara langsung kepada lembaga ini, baik melalui surat maupun telepon. Di beberapa negara, misalnya Inggris, Ombudsmen dilihat sebagai perluasan kontrol parlemen terhadap eksekutif dan keluhan masyarakat disalurkan melalui anggota parlemen. Pada hampir semua kasus, Ombudsmen melakukan tugas investigatifnya tanpa memungut biaya dari masyarakat.
Desentralisasi dan Partisipasi: Akuntabilitas dalam pelayanan publik juga dapat ditegakkan melalui struktur pemerintah yang terdesentralisasi dan partisipasi. Terdapat beberapa situasi khusus di mana berbagai tugas pemerintah didelegasikan ke tingkat lokal yang dijalankan oleh para birokrat lokal yang bertanggung jawab langsung kepada masyarakat lokal. Legitimasi elektoral juga menjadi faktor penting seperti dalam kasus pemerintah pusat. Tetapi cakupan akuntabilitas di dalam sebuah sistem yang terdesentralisasi lebih merupakan fungsi otonomi di tingkat lokal. Itupun sangat bervariasi secara signifikan sesuai derajat otonomi yang diperoleh, dari otonomi yang sangat luas seperti di AS hingga otonomi terbatas yang umum dijumpai di negara-negara berkembang. Ketergantungan yang tinggi terhadap NGOs dan berbagai organisasi dan koperasi berbasis masyarakat dalam penyediaan pelayanan publik menjadi salah satu perkembangan yang menjanjikan bagi terwujudnya manajemen publik yang terdesentralisasi dan bertanggung jawab.
Kontrol Administratif Internal: Pejabat publik yang diangkat sering memainkan peran dominan dalam menjalankan tugas pemerintahan karena relatif permanennya masa jabatan serta keterampilan teknis. Biasanya, kepala-kepala unit pemerintahan setingkat menteri diharapkan dapat mempertahankan kontrol hirarkis terhadap para pejabatnya dengan dukungan aturan dan regulasi administratif dan finansial dan sistem inspeksi. Untuk negara-negara dengan struktur administratif yang lemah, terutama di negara-negara berkembang dan beberapa negara komunis, metode kontrol tersebut memiliki dampak yang terbatas. Masalah ini disebabkan karena hubungan yang kurang jelas antara kepemimpinan politik yang bersifat temporer dan pejabat publik yang diangkat secara permanen. Jika mereka melakukan persekongkolan, akuntabilitas tidak bisa diwujudkan (hal ini juga terjadi sejak lama di negara-negara maju) dan jika mereka terlibat dalam konflik, maka yang menjadi korban adalah kepentingan publik.
Media massa dan Opini Publik: Hampir di semua konteks, efektivitas berbagai metode dalam menegakkan akuntabilitas sebagaimana diuraikan di atas sangat tergantung tingkat dukungan media massa serta opini publik. Tantangannya, misalnya, adalah bagaimana dan sejauhmana masyarakat mampu mendayagunakan media massa untuk memberitakan penyalahgunaan kekuasaan dan menghukum para pelakunya. Terdapat 3 faktor yang menentukan dampak aktual dari media massa dan opini publik. Pertama, kebebasan berekspresi dan berserikat harus diterima dan dihormati. Di banyak negara, kebebasan tersebut dilindungi dalam konstitusi. Derajat penerimaan dan rasa hormat umumnya dapat diukur dari peran media massa (termasuk perhatian terhadap pola kepemilikan) dan pentingnya peran kelompok kepentingan, asosiasi dagang, organisasi wanita, lembaga konsumen, koperasi, dan asosiasi profesional.Kedua, pelaksanaan berbagai tugas pemerintah harus transparan. Kuncinya adalah adanya akses masyarakat terhadap informasi. Hal ini harus dijamin melalui konstitusi (misalnya, UU Kebebasan Informasi) dengan hanya mempertimbangkan pertimbangan keamanan nasional (dalam pengertian sempit) dan privasi setiap individu. Informasi yang dihasilkan pemerintah yang seharusnya dapat diakses secara luas antara lain meliputi anggaran, akuntansi publik, dan laporan audit. Tanpa akses terhadap beragai informasi tersebut, masyarakat tidak akan sepenuhnya menyadari apa yang dilakukan dan tidak dilakukan pemerintah dan efektivitas media massa akan sedikit dibatasi.Ketiga, adanya pendidikan sipil yang diberikan kepada warga negara, pemahaman mereka akan hak dan kewajibannya, di samping kesiapan untuk menjalankannya.
3.1.4 Transparansi (politik)
Transparansi seperti yang digunakan dalam istilah politik berarti keterbukaan dan pertanggung-jawaban. Istilah ini adalah perpanjangan metafor dari arti yang digunakan di dalam ilmu Fisika: sebuah obyek transparan adalah obyek yang bisa dilihat tembus.
Aturan dan prosedur transparan biasanya diberlakukan untuk membuat pejabat pemerintahbertanggung-jawab dan untuk memerangi korupsi. Bila rapat pemerintah dibuka kepada umum dan media massa, bila anggaran dan laporan keuangan bisa diperiksa oleh siapa saja, bilaundang-undang, aturan, dan keputusan terbuka untuk didiskusikan, semuanya akan terlihat transparan dan akan lebih kecil kemungkinan pemerintah untuk menyalahgunakannya untuk kepentingan sendiri.
3.2 Patologi Birokrasi
Birokrasi merupakan wujud terbaik organisasi karena menyediakan konsistensi, kesinambungan, kemungkinan meramalkan, stabilitas, sifat kewaspadaan, kinerja efisien dari tugas-tugas, hak keadilan, rationalsm, dan profesionalisme. Ikhtisar singkat dari keuntungan-keuntungan birokrasi pemerintah adalah: (1) efisien; (2) ideal cocok untuk memperkecil pengaruh dari politik dan pribadi di dalam keputusan-keputusan organisatoris; atau (3) wujud terbaik organisasi karena membiarkan memilih pejabat-pejabat (dan yang lain) untuk mengidentifikasi dan mengendalikan yang bertanggung jawab untuk siapa atas apa yang dilakukan?
Namun, Birokrasi Weberian yang diharapkan akan menghasilkan hal-hal yang telah tersebut di atas, ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurut Islamy (1998:8), birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik : tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under producing), tidak obyektif, anti àterhadap kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum karena orientasi lebih pada melayani pemerintah, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen politis dengan sifat sangat otoritatif dan represif. Kutipan Lord Acton (1972), ”Power tends to corrupt, abolute power corrupt absolutlely” (Kekuasan cenderung untuk berbuat korupsi, kekuasan yang absolut berkorupsi secara absolut pula). Walaupun disini penulis memiliki pendapat bahwa korupsi bukan hanya adanya absolutisme kekuasaan namun karena adanya dekadensi moral para birokrat (para birokrat merasa harus mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan pada saat pemilu dengan berbagai macam cara), namun sependapat dengan pendapat Acton bahwa absolutism dapat menjadikan kesempatan korupsi itu lebih mudah. Hal ini tentu karena lemahnya bahkan tidak adanya kontol dari luar. Tanpa akuntabilitas, korupsi ‘berjamaah’ para birokrat sulit sekali diungkap. Korupsi, kolusi, dan nepotisme merupakan sebagian kecil dari Patologi Birokrasi. Patologi Birokrasi yang terjadi di dunia merupakan proses alami dari rutinitas birokrasi itu sendiri. Patologi Birokrasi sendiri akan menyebabkan terjadinya inefisiensi dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan. Inefisiensi ini yang menyebabkan krisis multidimensional (baik segi ekonomi, politik, sosial budaya, dan krisis moral). Lalu bagaimana patologi birokrasi itu dapat diobati? Dibawah ini penulis mengajak pembaca untuk memahami patologi birokrasi. Apa itu patologi birokrasi? Dimanakah yang sangat mungkin terjadi patologi Birokrasi? Dan bagaimana cara mengatasinya? Akan penulis uraikan dalam wacana dibawah ini.
Patologi Birokrasi (Bureaupathology) adalah himpunan dari perilaku-perilaku yang kadang-kadang disibukkan oleh para birokrat. Fitur dari patologi birokrasi digambarkan oleh Victor A Thompson seperti “sikap menyisih berlebihan, pemasangan taat pada aturan atau rutinitas-rutinitas dan prosedur-prosedur, perlawanan terhadap perubahan, dan desakan picik atas hak-hak dari otoritas dan status.” Red Tape merupakan awal kemunculan dari sebuah Patologi ini. Red Tape disebabkan adanya kecenderungan alami yang terjadi di dalam tubuh dan para birokrat yang tercetak dari rutinitas kegiatan mereka sendiri. Birokrasi yang semestinya lebih memper-efisien-kan proses malah semakin berbelit-belit karena para birokrat terlalu “patuh” pada prosedur yang ada. Jenis dari Patologi Birokrasi selain Red Tape yaitu Korupsi, Kolusi, Nepotisme, tidak adanya akuntabilitas, pertanggung jawaban formal, dan lain sebagainya. Negara Berkembang Lebih Mudah Terinfeksi Negara berkembang bisa dikatakan sebagai pusat dari Patologi Birokrasi. Negara-negara berkembang menghadapi ancaman patologi birokrasi, yaitu birokrasi yang cenderung mengutamakan kepentingan sendiri, terpusat, dan mempertahankan status quo. Patologi birokrasi juga menyebabkan birokrasi menggunakan kewenangannya yang besar untuk kepentingan sendiri. Ciri dari birokrasi negara berkembang yaitu: Pertama, administrasi publiknya bersifat elitis, otoriter, menjauh atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya serta paternalistik. Kedua, birokrasinya kekurangan sumber daya manusia (dalam hal kualitas) untuk menyelenggarakan pembangunan dan over dalam segi kuantitas. Ketiga, birokrasi di negara berkembang lebih berorientasi kepada kemanfaatan pribadi ketimbang kepentingan masyarakat. Keempat, ditandai adanya formalisme. Yakni, gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi. Kelima, birokrasi di negara berkembang acapkali bersifat otonom. Artinya lepas dari proses politik dan pengawasan publik. Administrasi publik di negara berkembang umumnya belum terbiasa bekerja dalam lingkungan publik yang demokratis. Dari sifat inilah, lahir nepotisme, penyalahgunaan wewenang, korupsi dan berbagai penyakit birokrasi yang menyebabkan aparat birokrasi di negara berkembang pada umumnya memiliki kredibilitas yang rendah.
3.2.1 Gejala Patologi Dalam Birokrasi
Apabila ditelusuri lebih jauh, gejala patologi dalam birokrasi, menurut Sondang P. Siagian, bersumber pada lima masalah pokok. Pertama, persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk patologi seperti: penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima sogok, dan nepotisme. Kedua, rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional, mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan. Ketiga, tindakan pejabat yang melanggar hukum, dengan ”penggemukan” pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya. Keempat, manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif, seperti: sewenang-wenang, pura-pura sibuk, dan diskriminatif. Kelima, akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi, seperti: imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja, dan sistem pilih kasih.
3.2.2 Atasi Patologi Birokrasi
Ada penyakit ada pula obatnya. Untuk mengatasi Patologi Birokrasi, seyogyanya seluruh lapisan masyarakat saling bahu-membahu bekerjasama untuk melaksanakan proses pemerintahan dengan sebaik-baiknya. Solusi dari Patologi Birokrasi tidak akan menjadi obat yang mujarab jika seluruh lapisan masyarakat tidak saling mendukung. Karena setiap element baik dari pemerintah, dunia bisnis, masyarakat kecil, dan pihak swasta memiliki keterkaitan yang sangat pokok dalam berjalannya pemerintahan. Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi Patologi Birokrasi yaitu: Yang pertama, perlu adanya reformasi administrasi yang global. Artinya reformasi administrasi bukan hanya sekedar mengganti personil saja, bukan hanya merubah nama intansi tertentu saja, atau bukan hanya mengurangi atau merampingkan birokrasi saja namun juga reformasi yang tidak kasat mata seperti upgrading kualitas birokrat, perbaikan moral, dan merubah cara pandang birokrat, bahwa birokrasi merupakan suatu alat pelayanan publik dan bukan untuk mencari keuntungan. Yang kedua pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas. Kekuatan hukum sangat berpengaruh pada kejahatan-kejahatan, termasuk kejahatan dan penyakait-penyakit yang ada di dalam birokrasi. Kita sering melihat bahwa para koruptor tidak pernah jera walaupun sering keluar masuk buih. Ini dikarenakan hukuman yang diterima tidak sebanding dengan apa yang diperbuat. Pembentukan supremasi hukum dapat dilakukan dengan cara
1. kepemimpinan yang adil dan kuat
2. alat penegak hukum yang yang kuat dan bersih dari kepentingan politik
3. adanya pengawasan tidak berpihak dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan dalam birokrasi.
Yang ketiga ialah dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi. Kurangnya demokrasi dan rasa ber-tanggung jawab yang ada dalam birokrasi membuat para birokrat semakin mudah untuk menyeleweng dari hal yang semstinya dilakukan. Pengawasan dari bawah dan dari atas merupakan alat dari penciptaan akuntabilitas dan transparansi ini. Pembentukan E-Government diharapkan mampu menambah transparansi sehingga mampu memperkuat akuntabilitas para birokrat.
Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi Patologi Birokrasi yaitu:
ü Pertama, perlu adanya reformasi administrasi yang global. Artinya reformasi administrasi bukan hanya sekedar mengganti personil saja, bukan hanya merubah nama intansi tertentu saja, bukan hanya mengganti papan nama di depan kantor saja, atau bukan hanya mengurangi atau merampingkan birokrasi saja, tetapi juga melakukan reformasi pada hal yang tidak kasat mata seperti upgrading kualitas birokrat, sekolah moral, dan merubah cara pandang birokrat terhadap dirinya dan institusi bahwa birokrasi merupakan suatu alat pelayanan publik dan bukan untuk mencari keuntungan.
ü Kedua, pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas. Kekuatan hukum sangat berpengaruh pada kejahatan-kejahatan, termasuk kejahatan dan penyakait-penyakit yang ada di dalam birokrasi. Kita sering melihat bahwa para koruptor tidak pernah jera walaupun sering keluar masuk buih. Ini dikarenakan hukuman yang diterima tidak sebanding dengan apa yang telah diperbuat. Pembentukan supremasi hukum dapat dilakukan dengan cara
v Kepemimpinan yang adil dan kuat
v Alat penegak hukum yang yang kuat dan bersih dari kepentingan politik
v Adanya pengawasan tidak berpihak dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan dalam birokrasi.
ü Ketiga, Ialah dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi. Kurangnya rasa bertanggung jawab yang ada dalam birokrasi membuat para birokrat semakin berani untuk menyeleweng dari hal yang semestinya dilakukan. Pengawasan dari bawah dan dari atas merupakan alat dari penciptaan akuntabilitas dan transparansi ini. Pembentukan E-Government diharapkan mampu menambah transparansi sehingga mampu memperkuat akuntabilitas para birokrat.
ü (Keempat, hal yang masih ada hubungannya denga ketiga faktor di atas, yakni dengan menegakkan Good Governance. Meskipun konsep governance masih belum jelas dan masih menjadi perdebatan, namun akumulasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah membuat beberapa kalangan menekan untuk segera diterapkannya good governance concept.
Pengembangan kelembagaan sering dikenal juga sebagai pembinaan kelembagaan, yang didefinisikan sebagai proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga guna mengefektifkan penggunaan sumber daya manusia dengan keuangan yang tersedia. Khasnya, pengembangan kelembagaan menyangkut sistem manajemen, termasuk pemantauan dan evaluasi, perencanaan dan lain-lain (Israel, 1992). Menurut Arturo Israel, konsep umum mengenai lembaga meliputi apa yang ada pada tingkat lokal atau masyarakat, unit manajemen proyek, badan, parastatus, departemen-departemen di pemerintah maupun milik swasta.
Kelembagaan lebih dipandang sebagai suatu manajemen dan keterkaitan antara sumber daya manusia, keuangan dan hubungan atau sistem kerja antara suatu lembaga dengan lembaga lainnya. Hasil kegiatan-kegiatan dalam pengembangan kelembagaan bersifat abstrak dan memerlukan waktu cukup lama sebelum mencapai hasil yang diharapkan bahkan beberapa kelembagaan yang sudah ada cenderung melemah karena berbagai sebab. Dari studi-studi evaluasi yang dilakukan, dikelompokkan beberapa faktor yang dapat mengurangi keacakan kelompok sehingga dapat memelihara kelembagaan, yaitu:
1. Faktor eksogen
2. Individu-individu atau kelompok-kelompok individu yang menonjol
3. Perencanaan yang efektif dan pelaksanaan program pengembangan kelembagaan
4. Aplikasi yang efektif mengenai teknik-teknik manajemen
5. Harga-harga relatif yang memadai, dan
6. Cukupnya komitmen politik.
Komitmen terhadap perbaikan lembaga dengan atau tanpa bank merupakan resep utama untuk kemajuan.
Persaingan merupakan suatu faktor yang mempengaruhi prestasi lembaga. Pada saat suatu lembaga berupaya untuk lebih menonjol, memperoleh laba yang lebih besar atau penghargaan lebih maka hal ini akan berpengaruh terhadap hubungannya dengan lembaga-lembaga lainnya yang saling berkaitan dalam hubungan kelembagaan. Persaingan tidak selalu merupakan hal yang negatif walaupun seringkali meningkatkan potensi konflik. Persaingan dapat membawa hasil yang positif selama persaingan tersebut digunakan sebagai motivasi untuk meningkatkan kinerja dan prestasi suatu lembaga. Namun pendekatan umum yang dianjurkan untuk memperbaiki prestasi lembaga adalah: kesadaran yang lebih besar terhadap isu-isu, penekanan pada sub sektor dan kegiatan dengan kekhususan yang rendah serta strategi untuk meminimalkan kebutuhan terhadap kapasitas lembaga.
Salah satu kelemahan dalam administrasi di negara berkembang adalah unsur kelembagaan, padahal pembangunan memerlukan dukungan kelembagaan. Kelembagaan yang tercipta di negara berkembang pada umumnya adalah kelembagaan tradisional atau warisan penjajahan. Pembangunan sebagai kegiatan yang kompleks, yang meliputi berbagai disiplin, sektor, kepentingan, dan kegiatan, memerlukan lembaga-lembaga yang mampu menampung, menyalurkan, dan mengatasi, serta mensinergikan berbagai aspek tersebut. Kelembagaan dalam hal ini mengandung arti luas, yaitu dapat berupa organisasi-organisasi formal seperti, antara lain birokrasi, dunia usaha, partai-partai politik, tetapi juga dapat berupa lembaga ekonomi seperti pasar, lembaga-lembaga hukum, dan sebagainya.
Menjadi tugas menajemen pembangunan untuk membangun dan mempersiapkan lembaga yang dibutuhkan agar upaya pembangunan dapat berhasil mencapai sasarannya. Pertama-tamanya tentunya lembaga pemerintah perlu dikembangkan agar dapat berfungsi sebagai alat pembangunan. Selain itu, juga harus dikembangkan lembaga-lembaga sosial ekonomi dan sosial politik masyarakat, agar pembangunan dapat berlangsung efisien dan memperoleh partisipasi yang seluas-luasnya dari masyarakat, dan dilakukan dengan derajat rasionalitas yang tinggi.
Permasalahan birokrasi di negara berkembang ingin diperbaiki melalui pengembangan kelembagaan. Banyak konsep dikembangkan dalam pengembangan kelembagaan atau pembangunan administrasi. Di antaranya, pengkajian paling awal dan banyak menjadi rujukan para pakar administrasi pembangunan selanjutnya adalah konsep dari Riggs juga. Menurut Riggs (1985), pengembangan kelembagaan merupakan suatu pola yang menunjukkan peningkatan efektivitas pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Birokrasi itu sendiri, menurut penglihatan Riggs, merupakan sebuah organisasi yang konkrit, terdiri dari peran-peran yang bersifat hirarkis dan saling berkaitan, yang bertindak secara formal sebagai alat (agent) untuk suatu kesatuan (entity) atau sistem sosial yang lebih besar. Dengan demikian, menurut pandangan ini, tujuan dari birokrasi itu sendiri. Atas dasar itu, maka kebertanggungjawaban (accountability) dari birokrasi dalam menjalankan tugas mewujudkan tujuan sangat esensial sifatnya. Oleh karena itu, pengembangan kelembagaan akan berkaitan erat dengan peningkatan kebertanggungjawaban dalam proses pengambilan keputusan, atau dalam hal bagaimana sumber daya instrumental dimobilisasi untuk mencapai tujuan.
Riggs (1985) melihat pengembangan kelembagaan dari dua sisi, yaitu perubahan struktural dan kinerja (performance). Secara struktural Riggs menggunakan diferensiasi struktural sebagai salah satu ukuran. Pandangan ini didasarkan atas kecenderungan peran-peran yang makin terspesialisasikan (role specialization) dan pembagian pekerjaan (division of labor) yang makin tajam dan intens dalam masyarkaat modern. Secara khusus Riggs menganalisis diferensiasi politik dan administrasi dalam proses pengambilan keputusan yang dipandangnya sebagai indikator perkembangan ke arah modernisasi. Dalam konteks ini, ia melihat berkembangnya kelompok-kelompok kepentingan, partai-partai politik dan organisasi-organisasi masyarakat, lembaga-lembaga perwakilan, lembaga-lembaga peradilan khusus, sebagai ciri penting dalam proses pengembangan kelembagaan.
Mengenai kinerja, Riggs menekankan sebagai ukuran bukan hanya kinerja seseorang atau suatu unit, tetapi bagaimana peran dan pengaruhnya kepada kinerja yang lain atau organisasi secara keseluruhan. Ia menekankan pentingnya kerjasama dan teamwork, dan membedakan kinerja perorangan (personal performance) dengan kinerja bersama (social performance). Riggs juga membedakan antara hasil (accomplishment) dengan upaya yang dilakukan (endeavour). Dalam pengembangan kelembagaan, perhatian lebih dicurahkan pada upaya, bukan semata-mata hasil. Contohnya petugas pajak yang menarik pajak dan kelompok orang-orang kaya dengan mudah akan memperoleh hasil lebih besar dibandingkan dengan petugas yang bertanggungjawab menarik pajak dari lapisan yang rendah pendapatannya. Dua aspek kinerja yang menjadi ukuran adalah efektivitas dan efisiensi. Efektifitas berkaitan dengan seberapa jauh sasaran telah tercapai, dan efisiensi menunjukkan bagaimana mencapainya, yakni dibanding usaha, biaya, atau pengorganan yang harus dikeluarkan.
Disamping itu studi yang dilakukan oleh Gormley dan Balla (2003) menunjukkan bahwa kinerja pemerintah sangat dipengaruhi oleh faktor tugas pekerjaan, dukungan politik, dan kepemimpinan. Dalam kaitannya dengan tugas pekerjaan, diketemukan bahwa lembaga yang memiliki tugas utama mendistribusikan uang kepada penduduk, cenderung dinilai berkinerja baik, sedangkan yang bertugas mengumpulkan uang, cenderung dinilai berkinerja buruk.
Diketemukan juga bahwa lembaga yang memiliki misi yang tidak jelas (ambiguous) atau mengandung konflik, cenderung berkinerja buruk. Sementara yang memiliki output dan outcomeyang dapat diamati, cenderung berkinerja baik. Dalam hubungannya dengan dukungan politik, kedua ahli itu menemukan bahwa lembaga yang ditekan oleh konstituen yang beraneka ragam, cenderung berkinerja baik, juga lembaga yang program, dan kebijakannya memberikan dukungan yang luas, cenderung berkinerja baik.
Lembaga pemerintah yang memberikan kontrol yang bersifat koersif cenderung lebih buruk kinerjanya daripada yang memiliki kontrol yang bersifat katalik. Dalam kaitannya dengan kepemimpinan, dikatakan bahwa lembaga yang memiliki pemimpin dengan keahlian dan pengalaman yang memadai, cenderung berkinerja baik. Lembaga dengan pemimpin yang berkomitmen tinggi, cenderung berkinerja baik, demikian pula lembaga dengan pemimpin menarik perhatian publik cenderung memiliki kinerja baik. Kinerja tidak dapat dilepaskan dari faktor leadership karena ia melekat pada kapasitas menajemen.
Riggs kemudian mempelajari lebih lanjut hubungan antara tingkat diferensiasi dan tingkat kinerja dalam konteks paradigma prismatic society-nya. Dengan teori-teorinya itu, sistem yang maju atau diffracted adalah yang skala diferensiasi dan kinerjanya tinggi, sedangkan sistem yang agak terdiferensiasi dan kinerjanya rendah adalah prismatic, yaitu birokrasi umumnya di negara berkembang. Pengembangan kelembagaan memerlukan sikap mendasar dan birokrasi. Patologi birokrasi di berbagai negara berkembang menunjukan adanya kecendrungan mengutamakan kepentingan sendiri (self-serving), mempertahankan status-quo resisten terhadap perubahan, cendrung terpusat (centralised), dan dengan kewenangannya yang besar sering kali memanfaatkan kewenangannya itu untuk kepentingan sendiri. Oleh karena itu, seperti dikemukakan di atas penyempurnaan aparatur negara acap kali menjadi program pembangunan di banyak negara yang sedang membangun.
Dari berbagai penelitian diketahui betapa tidak mudahnya melaksanakan pengembangan kelembagaan di bidang pemerintahan. Penyebabnya dalah pendekatan yang sering kali bersifat formal struktural, yaitu kepada penataan organisasi dan fungsi-fungsi. Yang sesungguhnya amat penting, tatapi lebih sulit dilakukan, adalah pengembangan pada sisi nilai-nilai yang membentuk manusia-manusia birokrat. Internalisasi nilai-nilai ini yang oleh Riggs (1996) disebut, introjection,merupakan kunci terhadap peningkatan kinerja birokrasi. Terutama yang perlu menjadi perhatian adalah memperbaiki sikap birokrasi dalam hubungan dengan masyarakatnya. Di dalamnya terkandung berbagai unsur, antara lain sebagai berikut:
Pertama, birokrasi harus membangun partisipasi rakyat. Pengalaman banyak negara menunjukan bahwa untuk berhasilnya pembangunan, partisipasi rakyat amat diperlukan. Partisipasi rakyat pada lapisan bawah (grassroots) yang efektif adalah apabila diselenggarakan secara bersama dalam lingkup kelompok-kelompok masyarakat (local comunities). Bentuk dan cara partisipasi seperti itu akan menghasilkan sinergi dan manfaat ekonomi yang dapat dinikmati oleh semua orang yang ikut serta di dalamnya. Merupakan tugas birokrasi untuk merangsang terjadinya partisipasi dan kegiatan kelompok masyarakat serupa itu dalam rangka membangun masyarakat yang maju dan mandiri.
Kedua, birokrasi hendaknya tidak berorientasi kepada yang kuat, tetapi harus lebih kepada yang lemah dan kurang berdaya (the under privileged). Sikap pemilihakan ini hanya akan ada kalau ada pemahaman dan kepedulian akan masalah yang dihadapi oleh rakyat di lapisan bawah. Untuk itu, hambatan psikologis harus diatasi karena birokrasi banyak negara berkembang (terutama di lapisan atas yang justru menentukan) umumnya merupakan kelompok elite suatu bangsa, yang tidak selalu tanggap dan mudah menyesuaikan atau mengasosiasikan diri dengan rakyat miskin dan terbelakang.
Ketiga, peran birokrasi harus bergeser dari mengendalikan menjadi mengarahkan dan dari memberi menjadi memberdayakan (empowering). Ini merupakan konsep yang amat mendasar, dan untuk negara di mana hubungan birokrasi dengan rakyat bersifat paternal (patronizing) memerlukan penyesuaian budaya birokrasi yang cukup hakiki.
Keempat, mengembangkan keterbukaan (transparancy) dan kebertanggunjawaban (accountability). Yang acap kali membuat birokrasi jauh dari masyarakat atau masyarakat yang harus dilayaninya jauh dari birokrasi adalah ketertutupan. Sebagai akibat ketertutupan, masalah-masalah dan pikiran-pikiran pengembangan kelembagaan dan tidak mudah diterima. Juga ada kecemburuan terhadap jabatan yang dipegang dan rasa keengganan untuk berbagi pengalaman dan kewenangan. Ketertutupan juga adalah untuk menyembunyikan ketidakmampuan dan menggambarkan keengganan menerima kritik. Mengembangkan sikap keterbukaan dengan demikian amat penting dalam upaya menyempurnakan birokrasi. Keterbukaan akan merangsang perbaikan melalu saling silang gagasan (cross fertilization).
Keberadaan akuntabilitas sebagai suatu sistem dan suatu istilah dalam teori dan praktek adminitrasi sudah cukup lama dan sering digunakan tetapi sebagai suatu konsep masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
Gormley dan Balla (2003:10) menyatakan:
Accountability in the public sector should be based on the idea that public administrators can and should serve citizens in the public interest, even in situations involving complicated value judgments and overlapping norms. (Akuntabilitas di sektor publik harus didasarkan pada gagasan bahwa administrator publik dapat dan harus melayani warga untuk kepentingan umum, bahkan dalam situasi yang melibatkan pertimbangan nilai rumit dan norma-norma yang tumpang tindih)
Gormley and Balla (2003, 11) melihat akuntabilitas dalam sektor publik pada empat aspek berdasarkan sumber kontrol yaitu akuntabilitas birokratik, akuntabilitas formal atau legal, akuntabilitas professional, dan akuntabilitas politik seperti pada tipologi akuntabilitas publik berikut:
1. Akuntabilitas birokratik yaitu jika tingkat pengawasannya tinggi dan berasal dari interen organisasi. Akuntabilitas birokratik ditentukan/diadakan secara formal melalui hirarki dalam organisasi khususnya organisasi birokratik.
2. Akuntabilitas profesional, jika tingkat pengawasannya rendah dan berasal dari internal organisasi. Akuntabilitas professional ditentukan/diadakan secara informal oleh anggota organisasi itu sendiri melalui melalui keahlian dan standar (yang mungkin dikembangkan oleh organisasi professional atau pendidikan dan pelatihan).
3. Akuntabilitas legal, jika tingkat pengawasannya tinggi dan berasal dari luar organisasi. Akuntabilitas legal ditentukan/diadakan secara formal oleh hukum atau peraturan yang diciptakan oleh legislative, pengadilan atau lembaga peradilan seperti kejaksaan atau komisi pelayanan masyarakat.
4. Akuntabilitas politik, jika sumber pengawasannya dari luar dan berada pada tingkat yang rendah. Akuntabilitas Politik tersebut ditentukan/diadakan secara informal oleh berbagai stakeholders dalam lingkungan akuntabilitas, bekerja baik secara langsung maupun melalui pejabat yang dipilih (elected officials).
Berkatian dengan keterbukaan adalah kebertanggungjawaban (accountability), yang oleh Riggs (1996) ditekankan sebagai hakikat dari upaya pengembangan kelembagaan. Ketertutupan menyebabkan birokrasi menjadi sulit dimintai pertanggungjawaban. Padahal birokrasi bukan kekuasaan yang berdiri sendiri, melainkan alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar sehingga tidaktanduknya harus selalu dapat diawasi dan dipertanggunjawabkan. Pertanggungjawaban itu dalam konsep birokrasi yang lama bersifat hirakis dari bawah ke atas di dalam struktur organisasi. Dalam kehidupan masyarakat yang makin canggih dan terbuka, masyarakat menuntut agar setiap pejabat siap menjelaskan dan dapat mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada publik. Kebijaksanaan-kebijaksanaan publik dituntut agar transparan dan dapat dipertanggungjawabkan, serta menguntungkan rakyat banyak. Kesemua itu membutuhkan perubahan sikap dari birokrasi yang sifatnya mendasar. Pengembangan kelebagaan yang demikian akan menghasilkan birokrasi yang makin tanggap dalam menghadapi tantangan dan lebih tangkas dalam memanfaatkan peluang dan mengatasi masalah. Tetapi juga makin peka terhadap kebutuhan, tuntutan, dan dinamika masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan kelembagaan harus juga meliputi etika birokrasi.
Aspek akuntabilitas dan transparansi menjadi harga mati dalam pengembangan kelembagaan pemerintahan. Akuntabilitas dan transparansi tidak hanya menyodorkan takaran harga kinerja lembaga pemerintah tetapi juga menjadi cermin tingkat independensinya. Independensi (kemandirian) lembaga memiliki modal utama berupa kejelasan identitas lembaga yang bersangkutan beserta tujuan dan tugas-tugas strategis yang harus dikerjakan sehingga suatu lembaga tersebut memiliki sejumlah koridor sebagai bahan kontrol dan antisipasi dari segenap potensi penyimpangan. Kejelasan tujuan dan tugas strategis juga mempermudah dirinya dalam menyusun prioritas kerja secara mandiri. Jadi, independensi amat berkenaan dengan kemampuannya untuk menjalankan tugasnya sendiri dan memenuhi kebutuhan dirinya (self-sufficiency) secara mandiri tanpa memiliki ketergantungan yang sangat kepada pihak lain. Independensi juga berkenaan dengan kemampuan pengambilan keputusan, terutama dalam pencanangan tujuan kemudian mengarahkan semua potensi yang dimilikinya dalam wujud tindakan untuk mencapai tujuan-tujuannya tersebut.
Suatu lembaga pemerintahan/birokrasi berupaya membuktikan diri mereka telah bersikap netral dan bertindak independen, apa yang dilakukan sebenarnya tidak lebih dari sebuah hubungan antarorganisasi (interorganizational network) dengan lembaga lain, seperti unit lain dalam pemerintahan, organisasi nirlaba, dan organisasi profit-oriented.
Hubungan seperti itu rentan mereduksi tingkat independensi lembaga pemerintahan, kecuali tiga persyaratan kunci berikut terpenuhi menurut Gormley dan Balla (2003:145), yaituPertama, setiap organisasi yang saling berhubungan memiliki pembagian tugas dan kerangka kerja yang jelas sehingga mereka hanya bertindak dan bersikap menurut batasan koridor pekerjaannya itu. Kedua, interaksi di antara organisasi tersebut harus memiliki sumber daya yang berbeda secara politik dan ekonomi. Ketiga, hubungan antarorganisasi memenuhi format hubungan yang setara dan berimbang, tidak membentuk hubungan hirarkis dengan dikotomi atas-bawah atau relasi superior-inferior. Konsensus menjadi hal utama yang menjadikan tiga persyaratan kunci tadi berjalan sehingga menghasilkan independensi dan akuntabilitas sekaligus.
Pembangunan administrasi di negara berkembang pada umumnya dilakukan mengikuti pola yang dikembangkan di negara maju, baik sistem yang diterapkan di negara berkembang melalui berbagai bentuk bantuan teknik yang biasanya berada di bawah judul “pengembangan kelembagaaan” (institution building). Banyak program pembangunan kelembagaan birokrasi di negara berkembang dibantu dengan para ahli, beasiswa, dan pembiayaan oleh negara-negara maju, lembaga-lembaga internasional seperti badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Bank Dunia, serta organisasi-organisasi swasta seperti Ford Foundation dan Rockefeller Foundation. Dengan berbagai program tersebut dan melalui literatur dan studi-studi perbandingan, negara-negara berkembang mengadopsi prinsip-prinsip administrasi modern dan menerapkan ke dalam sistemnya. Yang terjadi adalah suatu bybird dari sistem yang diadopsi dan luar dan kebiasaan lama yang masih tidak mudah dilepaskan.
Sejak awal telah dijelaskan oleh pakar, bahwa tantangan utama pembangunan lebih bersifat administratif daripada ekonomi, dan bukan pula kekurangan sumber daya alam. Oleh karena itu, pembangunan atau pengembangan kelembagaan menjadi bagian penting dalam program pembangunan di hampir semua negara berkembang. Dengan asumsi bahwa birokrasi harus berperan aktif mengisi ke vacum-an karena kekuatan-kekuatan pembangunan lain dalam masyarakat tidak ada atau belum berkembang, maka birokrasi di negara berkembang tumbuh cepat. Pertumbuhan itu lebih dalam arti fisik dibanding kualitas. Artinya, organisasi berperan besar dalam penetapan tujuan (objectives setting), pengendalian, pengaturan, pemeliharaan stabilitas, dan segala kegiatan lain yang berkenaan dengan segenap aspek kehidupan masyarakat.
Sementara itu, menjelang dasawarsa 90-an, sistem komunisme yang menerapkan dominasi negara secara sangat ekstrim, runtuh. Bersamaan dengan itu dunia bergerak menuju zaman baru, yaitu era keterbukaan global atau globalisasi yang dilandasi oleh arus liberalisasi perdagangan. Dalam kondisi demikian, untuk dapat selamat (surview), daya saing harus ditingkatkan. Untuk itu, efisieni harus ditingkatkan dan proteksi ekonomi yang menandai perekonomian dunia, khususnya ekonomi Negara berkembang pada dasawarsa-dasawarsa sebelumnya, harus ditiadakan.
Pengalaman empiris negara-negara industri baru juga menunjukan bahwa strategi melepaskan dominasi negara atas ekonomi dan mengikuti prinsip-prinsip pasar dengan ekspor sebagai pacuan telah membuahkan hasil seperti tercermin dalam tingkat pertumbuhan dan taraf kesejahteraan yang meningkat dengan pesat. Oleh karena itu, berkembang arus de-eatisme, yang dikenal dengan sebutan deregulasi dan debirokratisasi. Dalam hal ini peranan pemerintah dalam pengaturan dan keterlibatan langsung dipangkas menjadi seminimal mungkin atau hanya sepanjang yang diperlukan. Upaya ini merupakan bagian dari penyerasian struktural (structural adjusment), yang meliputi pelepasan usaha-usaha negara kepada masyarakat, pelapasan mekanisme pengendalian harga-harga, peniadaan aturan-aturan yang menghambat kegiatan
dunia usaha, dan pengurangan peran pemerintah secara langsung dalam ekonomi dan kehidupan masyarakat pada umumnya.
3.2.4 Patologi birokrasi sebagai salah satu contoh pelanggaran Etika pemerintahan
3.2.4.1 Pengertian Patologi birokrasi
Masalah dalam etika pemerintahan adalah patologi birokrasi.
Patologi merupakan bahasa kedokteran yang secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang penyakit”. Sementara yang dimaksud dengan birokrasi adalah : "Bureaucracy is an organisation with a certain position and role in running the government administration of a contry" (Mustopadijaja AR., 1999). Dengan demikian dapat dilihat bahwa birokrasi merupakan suatu organisasi dengan peran dan posisi tertentu dalam menjalankan administrasi pemerintah suatu negera. Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA., (1988) mengatakan bahwa pentingnya patologi ialah agar diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh manusia. Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu birokrasi. Artinya agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul baik bersifat politik, ekonomi, soio-kultural dan teknologikal. Risman K. Umar (2002) mendifinisikan bahwa patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi. Lebih lanjut Sondang P. Siagian (1988) menuliskan beberapa patologi birokrasi yang dapat dijumpai, antara lain :Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab, Pengaburan masalah, Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme, Indikasi mempertahankan status quo, Empire bulding (membina kerajaan), Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko, Ketidakpedulian pada kritik dan saran, Takut mengambil keputusan, Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi, Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif, Minimnya pengetahuan dan keterampilan, dll.
Patologi birokrasi merupakan cerminan dari aparat pemerintah yang kurang memahami etika pemerintahan, Berbagai perkiraan mengenai masa depan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memberikan petunjuk bahwa tantangan yang akan dihadapi oleh Birokrasi Pemerintah di masa depan akan semakin besar, baik dalam bentuk dan jenisnya, maupun intensitasnya.Mengenai penanganan patologi birokrasi dan terapinya, berarti agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul, baik yang sifatnya politis, ekonomis, sosio-kultural, dan teknologikal. Berbagai penyimpangan yang dilakukan para birokrat perlu diidentifikasikan untuk dicari terapi yang paling efektif, sehingga patologi birokrasi dapat dikategorikan dalam kelompok-kelompok tertentu.
3.2.4.2 Jenis-jenis Patologi Birokrasi
Pemerintahan sebagai pilar utama penyelenggara negara semakin dihadapkan pada kompleksitas global, sehingga perannya harus mampu dan cermat serta proaktif mengakomodasi segala bentuk perubahan. Kondisi tersebut sangat memungkinkan karena aparatur berada pada posisi sebagai perumus dan penentu daya kebijakan, serta sebagai pelaksana dari segala peraturan. Sementara itu, kondisi objektif dari iklim kerja aparatur selama ini masih dipengaruhi oleh teori atau model birokrasi klasik yang diperkenalkan oleh Taylor, Wilson, Weber, Gullick, dan Urwick, yaitu (i) struktur, (ii) hierarki, (iii) otoritas, (iv) dikotomi kebijakan administrasi rantai pemerintah, dan (v) sentralisasi. Meskipun model tersebut memaksimumkan nilai efisiensi dan efektifitas ekonomi, namun pada kenyataannya teori tersebut tidak dapat memberikan jawaban secara faktual sesuai dengan banyak temuan penelitian di berbagai tempat.
Teori birokrasi tersebut telah menimbulkan berbagai implikasi negatif yang sangat terkait dengan gejala sebagai berikut:
1. Smith, menyebutkan Inmobilism-inability to function, adalah kenyataan yang terkait dengan adanya hambatan dan ketidakmampuan menjalankan fungsi secara efektif.
2. E. bardock, mengemukakan gejala kelemahan adalah tekonisme, yaitu kecenderungan sikap administrator yang menyatakan mendukung suatu kebijaksanaan dari atas secara terbuka tetapi sebenarnya hanya melakukan sedikit sekali partisipasi dalam pelaksanaannya. Partisipasi yang sangat kecil tersebut dapat pula berbentuk procrastination, yaitu bentuk partisipasi dengan penurunan mutu atau kualitas pelayanan.
3. kelemahan lain adalah koordinasi yang dapat menimbulkan kelebihan (surpluses) maupun kekurangan (shortages)
4. Kelemahan lain adalah kebocoran dalam kewenangan (linkage of authority), yaitu kebijaksanaan pimpinan ditafsirkan dan diteruskan oleh pembantu pimpinan secara berlainan dalam arus perintah pada bawahan sesuai dengan pertimbangannya sendiri.
5. Selain itu terdapat juga gejala resistance,baik secara terang-terangan maupun tersembunyi oleh aparat dalam menjalankan tugas-tugas kedinasan
Birokrasi harus dihindarkan dari rancangan pihak-pihak yang tidak menghiraukan kepentingan publik untuk menjadikannya sebagai power center karena dapat mengancam potensi masyarakat.
Dalam hal patologi demokrasi dapat dikategorikan dalam beberapa kelompok, yaitu :
1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi, contohnya :
1. Penyalahgunaan wewenang dan jabatan
2. Pengaburan masalah
3. Menerima sogok atau suap
4. Pertentangan kepentingan
5. kecenderungan mempertahankan status quo / ketakutan pada perubahan
6. Arogansi dan intimidasi
7. Kredibilitas relatif rendah / nepotisme
8. Paranoia dan otoriter astigmatisme
9. Patologi yang disebabkan karna kurang / rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional. Artinya, rendahnya produktivitas kerja dan mutu pelayanan tidak semata-mata disebabkan oleh tindakan dan perilakuyang disfungsional, tetapi juga karena tingkat pengetahuan dan keteramplan yang tidak sesuai dengan tuntutan tugas yang diemban.
10. Patologi yang timbul karena tindakan para anggota birokrasi yang melanggar norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Yang digolongkan dalam melanggar tindakan hukum, antara lain :
1. Menerima sogok / suap
2. Korupsi, dan
3. Tata buku yang tidak benar
4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrasi yang bersifat disfungsional / negative, yaitu bertindak sewenang-wenang dan melalaikan tugas.
5. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai analisis dalam lingkungan pemerintahan.
Pemahaman patologi birokrasi secara tepat memerlukan analisis mendalam mengenai konfigurasi birokrasi tersebut yang akan terlihat dalam berbagai situasi internal yang dapat berakibat negatif terhadap birokrasi yang bersangkutan, antara lain :
1. penempatan tujuan dan sasaran yang tidak tepat
2. eksploitasi
3. tidak tanggap
4. motivasi yang tidak tepat
5. kekuasaan kepemimpinan
6. beban kerja yang terlalu berat
7. perubahan sikap yang mendadak.
3.2.4.3 Upaya Penanggulangan Patologi Demokrasi
1. Paradigma Birokrasi yang Ideal.
v Kelembagaan
Birokrasi pemerintahan merupakan organisasi yang paling besar di setiap negara yang ditentukan oleh berbagai faktor, seperti komplekksitas fungsi yang harus diselenggarakan, besarnya tenaga kerja yang digunakan, besarnya anggaran yang dikelola, beraneka ragamnya sarana dan prasarana yang dikasai serta dimanfaatkan, serta luasnya wilayah kerja yang meliputi seluruh wilayah kekuasaan negara yang bersangkutan, sehingga birokrasi pemerintahan perlu selalu berusahaagar seluruh organisasi birokrasi itu dikelola berdasarkan prinsip-prinsip organisasi.
v Manajemen Sumber Daya Manusia
Adapun langkah-langkah yang dapat diambil, terdiri dari perencanaan, rekruitmen, seleksi, penembapatan sementara, penempatan tetap, penentuan sistem imbalan, perencanaan dan pembinaan karier, peningkatan pengetahuan dan keterampilan, pemutusan hubungan kerja, pensiunan, dan audit kepegawaian.
v Pengembangan Sistem Kerja
Pengembangan sistem kerja harus diarahkan pada hilangnya persepsi negatif mengenai birokrasi. Pengembangan sistem kerja harus didsarkanpada pendekatan kesisteman yang berarti bahwa struktur apapun yang digunakan, semuanya harus tetapterwujud dalam kesatuan gerak dan langkah. Artinya, seluruh birokrasi bergerak sebagai satu kesatuan yang dapat diwujudkan apabila pengembangan sistem kerja birokrasi dapat ditujukan pada seluruh langkah yang ditempuh dalam proses administrasi negara.
v Pengembangan citra birokrasi yang positif.
Citra birokrasi umumnya bersifat negatif, sehingga nilai-nilai loyalitas, kejujuran, semangat pengabdian, disiplin kerja, mendahulukan kepentingan bangsa diatas kepentingan sendiri, tidak memperhitungkan untung rugi dalam pelaksanaan tugas, kesediaan berkorban, dan dedikasi, harus selalu ditekankan untuk dijunjung tinggi.
Beberapa cara yang dapat menghilangkan citra negatif, yaitu :
1. Mendorong proses demokrasi dalam masyarakat, antara lain dalam bentuk peningkatan pengawasan sosial agar penyimpangan oleh para anggota birokrasi semakin berkurang.
2. Mengurangi campur tangan birokrasi dalam berbagai kegiatan-kegiatan dalam masyarakat yang semakin maju, merupakan porsi masyarakat untuk menyelenggarakannya.
3. Menggunakan setiap kesempatan untuk menumbuhkan persepsi mengenai pentingnya orientasi pelayanan, bukan orientasi kekuasaan, dalam berpikir dan bertindak.
4. Mengharuskan para pejabat tinggi membuat pernyataan mengenai kekayaan pada waktu mulai menjabat.
Reformasi Birokrasi Menuju Pemerintahan yang Bersih, Kuat, dan Berwibawa
Ada penyakit ada pula obatnya. Untuk mengatasi Patologi Birokrasi, seyogyanya seluruh lapisan masyarakat saling bahu-membahu bekerjasama untuk melaksanakan proses pemerintahan dengan sebaik-baiknya. Solusi dari Patologi Birokrasi tidak akan menjadi obat yang mujarab jika seluruh lapisan masyarakat tidak saling mendukung. Karena setiap element baik dari pemerintah, dunia bisnis, masyarakat kecil, dan pihak swasta memiliki keterkaitan yang sangat pokok dalam berjalannya pemerintahan. Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi Patologi Birokrasi yaitu: Yang pertama, perlu adanya reformasi administrasi yang global. Artinya reformasi administrasi bukan hanya sekedar mengganti personil saja, bukan hanya merubah nama intansi tertentu saja, atau bukan hanya mengurangi atau merampingkan birokrasi saja namun juga reformasi yang tidak kasat mata seperti upgrading kualitas birokrat, perbaikan moral, dan merubah cara pandang birokrat, bahwa birokrasi merupakan suatu alat pelayanan publik dan bukan untuk mencari keuntungan. Yang kedua pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas. Kekuatan hukum sangat berpengaruh pada kejahatan-kejahatan, termasuk kejahatan dan penyakait-penyakit yang ada di dalam birokrasi. Kita sering melihat bahwa para koruptor tidak pernah jera walaupun sering keluar masuk buih. Ini dikarenakan hukuman yang diterima tidak sebanding dengan apa yang diperbuat. Pembentukan supremasi hukum dapat dilakukan dengan cara
1) kepemimpinan yang adil dan kuat
2) alat penegak hukum yang yang kuat dan bersih dari kepentingan politik
3) adanya pengawasan tidak berpihak dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan dalam birokrasi.
Yang ketiga ialah dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi. Kurangnya demokrasi dan rasa ber-tanggung jawab yang ada dalam birokrasi membuat para birokrat semakin mudah untuk menyeleweng dari hal yang semstinya dilakukan. Pengawasan dari bawah dan dari atas merupakan alat dari penciptaan akuntabilitas dan transparansi ini. Pembentukan E-Government diharapkan mampu menambah transparansi sehingga mampu memperkuat akuntabilitas para birokrat. Selama kedudukan dominan berada di tangan birokrat, maka tidak menutup kemungkinan terjadinya kolusi atau penyalahgunaan wewenang untuk setiap urusan / keperluan. Birokrasi pemerintahan yang semakin kuat dan menentukan cenderung melakukan penyalahgunaan jabatan, wewenang, dan kekuasaan. Selama kekuasaan legislatif dan judikatif berada dibawah penguasa sebab peran kepela eksekutif sangat mempengaruhi kedudukan, jabatan, dan posisi di kedua lembaga tersebut. Lembaga legislatif tidak dapat melakukan fungsi pengawasan secara efektif karena eksekutif lebih kuat daripada legislatif sedangkan lembaga judikatif tidak kuat dan tidak independen karena adanya campur tangan dari kepala eksekutif. Dengan demikian, pelaksanaan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen menjadi terabaikan sebab lemahnya fungsi kontrol legislatif. Berdasarkan hal tersebut, sistem ketatanegaraan yang perlu direformasi adalah mencakup bidang politik, ekonomi, dan hukum pada tataran sistem, serta reformasi bidang moral intelektual dan sosial budaya pada tataran karakter. Di bidang politik, perubahan itu berkenaan dengan penyempurnaan undang-undang pemilihan umum partai politik, susunan dan kedudukan anggota DPR, MPR,dan DPRD, serta kebebasan mengeluarkan pendapat. Di bidang ekonomi, diperlukan undang-undang anti monopoli, perlindungan konsumen, serta perbaikan terhadap undang-undang ketenagakerjaan. Bidang hukum, diperlukan undang-undang tentang HAM dan bela negara. Sedangkan dalam tatanan karakter, perlu dibuat undang-undang etika pemerintahan dan menegakkan law enforcement . Selain itu, peran birokrasi juga harus dikembangkan kepada prinsip pelayanan yang cepat dan tepat, efisien, dan efektif. Pemerintah juga dituntut untut untuk memprioritaskan pembenahan sistem yang menyangkut kelembagaan dan sistem pendukung lainnya. Fungsi birokrasi termasuk aparatur negara hendaknya bisa sebagai penyelesai masalah (a world of solution) I serta menghindarkan diri dari sumber masalah (source of problem).
Istilah yang dikaitkan dengan birokrasi pemerintah yang bersih, kuat, dan berwibawa, terciptanya efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan negara, pemerintahan, dan pembangunan, adalah efisien, yaitu mengedepankan kemampuan tinggi dalam mengoptimalkan pemanfaatan segala sumber dana yang tersedia, efektif, yaitu mengacu pada pencapaian sasaran yang telah ditentukan dengan perhitungan waktu yang tepat, bersih, yaitu sikap tingkah laku aparat yang dapat dipertanggungjawabkan,kuat, yaitu pemerintah yang memperoleh dukungan serta berakar pada rakyat, dan berwibawa, yaitu cekatan melaksanakan tugas melayani kepentingan umum.Dengan demikian, apa yang dimaksud dengan pemerintahan yang bersih, kuat, dan berwibawa adalah menyangkut cara atau hal urusan pemerintah menyelenggarakan sistem pemerintahan menurut konstitusi, hukum, dan etika; kelembagaannya tertata secara efisien dan saling mengawasi; mampu memberdayakan partisipasi masyarakat dan profesionalisme yang dijalankan melalui kepemimpinan demokratis yang berkapasitas tinggi.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESMPULAN
Kesimpulan dari pembahasan tersebut di atas adalah bahwa dalam patologi organisasi perlu adanya keterbukaan (transparansi) dan pertanggungjawaban (akuntabilitas). Kurangnya demokrasi dan rasa ber-tanggung jawab yang ada dalam birokrasi membuat para birokrat semakin mudah untuk menyeleweng dari hal yang semstinya dilakukan. Pengawasan dari bawah dan dari atas merupakan alat dari penciptaan akuntabilitas dan transparansi ini. Pembentukan E-Government diharapkan mampu menambah transparansi sehingga mampu memperkuat akuntabilitas para birokrat.
Transparansi pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakat sehingga tercipta pemerintahan daerah yang bersih, efektif, efisien ,akuntabel dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat. Transparansi adalah prinsip yang menjamain akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan , yakni informasi tentang kebijakan proses pembuatan dan pelaksanaanya serta hasil – hasil yang dicapai. Transparansi adalah adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan
Dengan demikian dapat dilihat bahwa birokrasi merupakan suatu organisasi dengan peran dan posisi tertentu dalam menjalankan administrasi pemerintah suatu negera. Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA., (1988) mengatakan bahwa pentingnya patologi ialah agar diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh manusia.
DAFTAR PUSTAKA
http://satriagovernmentunhas09.blogspot.com/2012/04/patologi-birokrasi-sebagai-salah-satu.html
Labels:
Tugas Makalah