NEW UPDATE

Mungkinkah Presiden RI dari Orang Bugis Sidrap?


Berbicara tentang kepemimpinan maka kita akan dihadapkan pada posisi dan porsi, mengemban tanggung jawab dan terlibat langsung dalam menuntaskan persoalan-persoalan dari berbagai aspek hingga menggiringnya kearah yang lebih baik. (A.Akbar)

Indonesia telah mencicipi dan menghirup udara kemerdekaan sejak tahun 1945. dalam perjalanannya pasca runtuhnya Orde Baru hingga lahirnya Reformasi 1998 yang begitu dramatis, tentunya kita akan beranggapan bahwa pencapaian Indonesia dari segi kemakmuran dan kesejahtraan rakyatnya, sudah sesuai dengan apa yang diharapkan, hingga tidak ada keraguan jika Indonesia dapat menyandang status sebagai "Negara Maju"

Namun sayang beribu sayang...!!!
Reformasi terpeleset dan terhimpit dijurang yang kita rakit sendiri, pencapaian Negara Maju hanya sebatas mimpi-mimpi manis yang mungkin takterealisasi. 

Ada apa dengan Indonesia ?
Indonesia butuh pemimpin yang tegas, jujur, arif, bijaksana, santun, teladan dan berkarisma. Pertanyaan yang kemudian hadir membingkai stigma masyarakat adalah mungkinkah sampai saat ini belum ada Pemimpin atau Kepala Negara kita yang berhasil mewujudkan cita-cita luhur panca sila?

Menurut penulis, dengan bahasa sederhana mengatakan bahwa "Indonesia telah memiliki 5 Presiden namun belum memiliki satupun Pemimpin". Lantas bagaimana jika sosok pemimpin yang kita damba-dambakan itu lahir dari Tanah Bugis "Orang Sidrap" mengapa tidak!

Berikut kita kupas tuntas karakter kepemimpinan orang bugis sidrap ditinjau dari aspek sejarah dan sosial.

KONSEP KEPEMIMPINAN BUGIS
Dalam Kepustakaan Bugis, untuk terwujudnya permerintahan yang baik, seorang pemimpin dituntut memiliki 4 kualitas pribadi, sebagaimana banyak diungkap dalam Lontaraq Bugis, yaitu :
  • Maccai na Malempu (Cendekia lagi Jujur)
  • Waraniwi na Magetteng (Berani lagi Teguh dalam Pendirian.). 
Ungkapan ini bermakna bahwa kecerdasan saja belum cukup, kecerdasan haruslah disertai dengan kejujuran. Banyak orang cendekia menggunakan kecerdasannya membodohi orang lain. Karena itu, kecerdasan haruslah disertai dengan kejujuran. Selanjutnya, keberanian saja tidak cukup tapi harus disertai dengan keteguhan dalam pendirian. Orang yang berani tetapi tidak cendekia dan teguh dalam pendirian dapat disebut orang nekad.

Salah seorang pemimpin bugis yang dalam Sejarah Sidenreng Rappang Abad XVI, dikenal memiliki empat kualitas pribadi tersebut adalah :

La Pagala Nene’ Malomo, seorang hakim (pabbicara) dan murid dari La Taddampare, menjatuhkan pidana mati terhadap putranya sendiri yang amat dicintainya karena telah terbukti mengambil luku orang lain tanpa seizin dengan pemiliknya. 

Tentu saja kejadian itu telah mencoreng muka ayahnya sendiri yang dikenal sebagai hakim yang jujur. Ketika ditanya mengapa ia memidana mati putranya sendiri dan apakah dia menilai sepotong kayu sama dengan jiwa seorang manusia, beliau menjawab, “Ade’e temmakeana’ temmakke eppo” (Hukum tidak mengenal anak dan tidak mengenal cucu). Dalam Lontara’ La Toa, Nenek Mallomo’ disepadankan dengan tokoh -tokoh Bugis bijak lainnya seperti Puang Rimaggalatung dan Kajao Laliddong.

Pidana mati itu dilakukan semata-mata untuk mempertahankan harga dirinya sebagai hakim yang jujur di tengah-tengah masyarakatnya. Sekiranya ia memberikan pengampunan kepada putranya sendiri, tentulah ia akan menanggung malu yang sangat dalam karena akan dicibir oleh masyarakat sekitarnya, dan wibawanya sebagai hakim yang jujur akan hilang seketika. 

Bagi masyarakat Bugis, falsafah “taro ada taro gau” (satunya kata dengan perbuatan) adalah suatu keharusan. Manusia yang tidak bisa menyerasikan antara perkataan dan perbuatannya akan mendapat gelar sebagai manusia “munafik” (munape), suatu gelar yang sangat dihindari oleh manusia Bugis.

PATUAH NENE MALLOMO
Salah satu petuah dari Nene’Mallomo mengatakan bahwa orang Sidrap harus mempunyai sifat :
  • Macca (pintar), 
  • Malempu (jujur), 
  • Magetteng (konsisten), 
  • Warani (berani), 
  • Mapato (rajin), 
  • Temmapasilengang (adil) 
  • Deceng Kapang (menghormati orang lain). 
Nene’Mallomo juga merupakan penggagas falsafah hidup masyarakat Bugis Sidrap, yang terkenal dengan 5 (lima) M, yaitu : 
  • Massappa (mencari rezeki yang halal), 
  • Mabbola (membangun rumah dari rezeki yang halal), 
  • Mappabotting (mempererat silaturrahmi dengan ikatan pernikahan), 
  • Mappatarakka Hajji (menunaikan ibadah haji) 
  • Mattaro Sengareng (merendahkan diri dan keikhlasan).
Salah satu pappaseng (pesan) Nene’Mallomo bagi aparat kerajaan adalah : 

Tellu tau kupaseng : Arung Mangkaue’, Pabbicarae’, Suroe’. Aja pura mucapa’i lempue’ Arung Mangkau’. Malempuko mumadeceng bicara, mumagetteng, apak i ariasennge’ malempu, madeceng bicarae’ lamperi sunge’. Apak teammate lempue’, temmaruttung lappae’, teppettu maompennge’, teppolo masselomoe’. 

Artinya, “Aku berpesan kepada tiga golongan : Maharaja, pabbicara dan pesuruh. Jangan sekali-kali engkau meremehkan kejujuran itu, wahai maharaja. Berlaku jujurlah serta peliharalah tutur katamu, engkau harus tegas. Sebab kejujuran dan tutur kata yang baik itu memanjangkan usia. Oleh karena takkan mati kejujuran itu, takkan runtuh yang datar, takkan putus yang kendur, takkan patah yang lentur”.

Dengan membaca artikel ini semoga akan lahir suatu saat nanti Pemimpin di Negeri ini yang benar-benar mampu membawa Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih maju dan Sosok Pemimpin yang kita damba-dambakan itu dari Tanah Bugis "BUMI NENE MALLOMO".

Terima Kasih.
Admin : A.Akbar






    Back To Top